Jumat, 12 Desember 2014

CINTAKU YANG LARA



 Karya : Puji Budi Utomo




Rangkaian mendung mulai menyelimuti langit sore itu. Disusul bunyi guntur yang ikut melengkapi suasana langit. Titik-titik air tampak membasahi bumi, diiringi tiupan sang bayu yang serasa menusuk tulang. Di sebuah toko yang sedari tadi tutup dikarenakan hujan, tampak dua anak muda berteduh menunggu hujan reda.
        “ Duh. . . kalau hujannya kayak gini, kapan redanya nih? “ ucap pemuda yang sedari tadi memainkan tombol handphone-nya.

        “ Kamu nggak kedinginan Des? “ lanjutnya. Merasa tidak ada jawaban, ia pun menoleh ke sahabatnya.
        “Hei. . . Des, Destri!” sambil mencolek pinggul wanita yang dipanggilnya Destri.
        “Eh. . . kenapa Dim?” Tanya Destri agak terkejut
        “Kamu nggak dengar pertanyaanku tadi?” Dimo balik bertanya.
        “Dengar kok, emang kamu nanya apa?”
        “Tuh kan,..katanya dengar, kamu ngelamunin apa sih?” Tanya Dimo penuh selidik.
        “Nggak apa-apa kok Dim, cuma ngeliatin pelangi itu aja tadi. Indah ya. . .” ujar Destri sembari menunjuk bianglala yang membentuk busur dan menghiasi langit.
        “Hust...Jangan ditunjuk! nanti jari kamu copot lho.“ tegur Dimo sambil tertawa.
        “Hee. . . . percaya aja kamu sama mitos Dim.“ Destri ikut tertawa.
        “Eh. . . Pulang yuk, udah reda nih.” ajak Dimo kepada Destri.
        “Yuk. . . .” jawab Destri seraya menaiki sepeda motor Dimo.
        “Nih. . . Pakai jaketku aja, biar kam
u nggak kedinginan.” Dimo memberikan jaketnya kepada Destri.
        “Iya Dim. . . . Makasih ya. . .”
        Kedua sahabat itu pun melaju menuju rumah mereka. Mereka berdua adalah sahabat sejak kelas 1 SMA. Persahabatan itu dimulai ketika MOS, tepatnya Out Bond. Di mana pada saat itu Destri tiba-tiba perutnya merasa sakit dikarenakan maagnya kambuh. Berhubung Dimo adalah ketua kelompok, ia pun diperintahkan untuk mengantar Destri pulang. Sampai saat ini hubungan persahabatan itu masih terjalin dengan hangat, meskipun mereka berlainan jenis.
        Udara semakin menusuk kulit, dan kegelapan mulai menyelimuti Kota Singkawang serta disambut nyanyian katak yang bersahut-sahutan. Namun suara katak tersebut kalah merdunya  dengan suara muadzin yang memanggil umat Islam untuk menegakkan tiang agama.

***






        “Assalamu’alaikum. . . . .”
        “Wa’alaikumsalam. . . Kok  jam segini baru pulang Dim?” Tanya Bu Ani menyambut kedatangan putra semata wayangnya.
        “Tadi berteduh Bu, soalnya hujannya lebat banget.” Jawab Dimo sambil melangkah menuju kamarnya untuk mengganti pakaian yang agak basah terkena rintikan hujan.
        Setelah mengganti pakaiannya, Dimo menghampiri ibunya.
         “Ibu udah s
alat?” Tanya Dimo ketika menjumpai ibunya yang tengah duduk di kursi ruang tamu sambil membaca sebuah majalah.
        “Belum Dim, Ibu kan nunggu kamu.” Jawab ibunya dengan tersenyum.
        Ya udah. . . . Salat yuk, nanti keburu masuk waktu Isya.Ucap Bu Ani mengingatkan.
        Dimo pun mengikuti langkah ibunya menuju tempat salat. Dengan khusuk dan suara merdu, Dimo melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an. Meski keluarga ini bukanlah orang berada, namun mereka tetap taat kepada Tuhan sang Maha Pencipta. Mereka menyadari bahwa apa yang ada di dunia ini adalah rahmat dari Tuhan, sehingga mereka tak luput untuk bersyukur atas rahmat yang telah mereka rasakan.

***





        Malam semakin larut, namun sang dewi malam beserta bintang-bintang tidak tampak menghiasi panggung langit. Langit terlihat hanya diselimuti awan-awan hitam yang siap menjatuhkan ribuan air di muka bumi bersama kegelapan yang menemani para insani yang tengah menembus ruang mimpi.
        Dimo terbangun dari tidurnya, karena ia merasakan handphone-nya bergetar. Sengaja ia tidak mengaktifkan nada deringnya, dengan maksud agar tidak mengganggu ibunya jika ada pesan atau panggilan. Dilihatnya nama Destri di layar handphone-nya.
        “Halo. . . Des, ada apa?”
        “Dim. . . . Aku gangguin kamu nggak?” Tanya suara wanita di seberang sana.
        “Oh. . . . nggak kok Des.” Jawab Dimo berbohong. Padahal ia sangat terganggu. Tetapi demi wanita yang ia sayangi, ia rela mengabaikan kondisi tubuhnya yang sangat lelah.
        “Emang ada apa Des?” Tanya Dimo sekali lagi.
        ”Dim. . . . Aku putus sama Roy.” Mulai terdengar isak tangis Destri.
        “Hah. . .? kok bisa Des?”
        “Des, kamu yang sabar ya, aku yakin semua ini pasti ada hikmahnya kok.” Hibur Dimo kepada Destri.
        “Ternyata Roy itu pembohong Dim. Aku tuh udah percaya banget sama dia, tetapi dia malah ngebohongin aku!
        Suara Destri terdengar tersendat-sendat karena tangisnya yang semakin meledak-ledak.
        “Roy ngebohongin kamu gimana Des?” Tanya Dimo yang semakin tidak sabar untuk mendengar cerita Destri.
        “Gini Dim, selama aku pacaran sama Roy, dia tuh dekat banget sama adik angkatnya. Tentu aja aku nggak curiga. Tapi kenapa mereka sekarang malah jadian? Roy bilang kalau dia bosan pacaran sama aku dan sekarang mutusin aku” Suara Destri hampir tidak terdengar di telinga Dimo.
        “Kurang ajar! tega-teganya dia nyakitin kamu Des!
        Ingin rasanya Dimo menghajar Roy
. Ia benci sekali dengan orang yang seolah-olah hanya mempermainkan cinta untuk menyakiti wanita. Namun, ia tidak ingin memperpanjang masalah, nanti juga yang terkena imbasnya malah Destri. Ia tidak mau Destri semakin terbebani masalah. Satu masalah ini saja pasti sudah cukup membuat Destri merasa sangat terpukul, apalagi kalau banyak masalah, tentu akan membuat Destri semakin shock.
       
Padahal aku tuh cinta dan sayang banget sama dia, Dim. Aku rela ngelakuin apa aja buat dia. Apa yang dia minta selalu aku beri, itu karena aku takut banget kehilangan dia. Tapi apa balasannya? dia malah pergi dengan cewek lain yang dia bilang adik angkatnya. Aku sakit hati banget Dim, aku lebih baik mati daripada menanggung perih ini!
        “ Des. . . . Des. . . . jaga ucapan kamu! Kamu jangan pernah ngelakuin tindakan bodoh  hanya karena cowok brengsek itu. Dengan dia mutusin kamu, itu membuktikan kalau dia orangnya nggak setia, dia itu pembohong Des! Des, walaupun nggak ada dia, tapi kamu masih punya banyak sahabat yang sayang sama kamu.” ucap Dimo panjang lebar.
        Ia mencoba menenangkan Destri. Meski Destri pernah menyakiti hatinya, namun ia tetap menunjukkan sikap baiknya sebagai seorang sahabat. Masih terasa segar diingatannya saat cintanya ditolak oleh Destri waktu itu.
        Sorry ya Dim. . . . Aku nggak bisa nerima kamu untuk jadi pacar aku, aku memang sayang sama kamu, tapi itu bukan berarti cinta. Kamu terlalu baik untuk menjadi kekasihku Dim, aku merasa sangat bersalah jika nanti kamu terluka karena pacaran sama aku. Kita sahabatan aja ya Dim.” Ucap Destri seraya berlalu meninggalkannya sendiri mematung di depan gerbang sekolah.
        Hati Dimo saat itu serasa disayat-sayat pisau, begitu sakit. Ia sedih mendengar penuturan Destri. Apakah karena terlalu baik itu yang menjadi alasan dirinya untuk tidak dicintai. Hati Dimo semakin hancur berkeping-keping setelah ia mendengar kalau besoknya Destri jadian dengan Roy. Ingin rasanya menangis, menangisi keadaannya, menangisi lukanya. Ia menyadari bahwa Roy memang mempunyai banyak kelebihan ketimbang dirinya. Roy anak gubernur, yang serba berkecukupan, sedangkan dia hanyalah anak tukang sayur, yang serba pas-pasan. Dia memang tidak pantas mendampingi Destri yang bergelimang kemewahan.
        Namun ia bersyukur Destri masih mau bersahabat dengannya. Setidaknya ia masih bisa perhatian sama Destri, dan menunggu keajaiban datang untuk cintanya dibalas oleh Destri. Karena ia sangat berharap Destri lah wanita yang akan menemaninya hingga ia tidak dapat menatap dunia. Namun, kini gadis tersebut sedang terluka, dan yang melukainya adalah lelaki pilihannya sendiri. Sungguh lelaki yang bodoh, batin Dimo.
        “Halo. . .  Dim, kamu masih dengar kan?” pertanyaan Destri tersebut menyadarkan Dimo dari lamunannya.
        “Eh. . . . masih kok Des, ya udah, mendingan kamu sekarang istirahat aja biar pikiran kamu bisa lebih tenang” saran Dimo kepada Destri.
        “Iya Dim, makasih ya, walaupun luka ini begitu dalam, tapi setelah mendengar saran dari kamu, aku jadi bisa lebih tabah. Sekali lagi makasih Dim. Kamu emang sahabat terbaikku. “
        Destri pun menutup telepon setelah mengucapkan selamat malam kepada Dimo.
        “itu semua karena aku sayang dan cinta sama kamu Des. Good night too. . .” jawab Dimo, namun hanya berani didalam hati.
        Dimo segera merebahkan kembali tubuhnya di atas kasur. Matanya menjadi sulit untuk terpejam, pikirannya menerawang jauh ke masa lalunya. Ia teringat kenangan bersama sang ayah saat masih melengkapi keluarganya. Namun, keceriaan itu berubah menjadi tangis. Sang ayah telah pergi untuk selamanya karena tersambar truk saat membelikan kado ulang tahun untuknya. Itu merupakan kado terpahit yang pernah ia terima, karena ia harus kehilangan salah satu lilin yang selama ini menerangi hidupnya. Tanpa terasa mata Dimo semakin lama semakin terpejam. Ia mulai memasuki alam maya, hingga sang fajar hadir kembali membawa sinar yang terang untuk menerangi dunia.

***






        Kukuruyuk. . . . . . . . .
        Si ayam jago menyambut datangnya sang fajar. Embun pagi tampak berkelip menari-nari karena tertimpa bias cahaya sang raja siang.  
        Destri terbangun dari lelapnya, karena dirasakannya cahaya matahari menyelinap masuk ke kamarnya melalui kaca jendela. Matanya masih tampak membengkak, karena terlalu lamanya ia menangis tadi malam. Ia tidak langsung bangun, namun hanya tergolek di tempat tidurnya. Pikirannya masih di bayang-bayangi wajah Roy.
        “Aku harus ngelupain kamu, kamu emang nggak tercipta buat aku. Aku akan mencoba ngerelain kamu Roy.Batin Destri dalam kepiluan hatinya.
        Walaupun Roy telah pergi dengan wanita lain, namun Destri tidak akan pernah merasa sepi, karena Dimo pasti akan selalu menjadi pengobat kesunyiannya.
        “Des. . . . kamu belum bangun?” teriak ibunya dari balik pintu.
        Udah kok Ma. Ini Destri lagi beresin tempat tidur” jawab Destri berbohong.
        Ya udah,  cepat mandi, terus sarapan. Tuh nasinya udah Mama siapin di meja, Mama berangkat ke kantor dulu.
       
Iya Ma.” jawab Destri singkat.
        Ia pun segera melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membasahi tubuhnya, agar pikirannya lebih tenang setelah tersiram sejuknya air bak.
        setelah mandi ia pun berdandan dan menuju meja makan.
        “Huh. . . . bete
banget rasanya di rumah sendirian kayak gini, mendingan ngajak Dimo ke pantai aja.” Gumamnya sendiri sambil memencet tombol handphone-nya dan mencari nama Dimo.

***






        Suasana pantai sangat sepi sekali, hanya beberapa pengunjung saja yang tampak sedang berlindung di bawah naungan atap kantin dari sengatan cahaya mentari. Para pengunjung tersebut tampak sedang bercanda ria sambil menikmati air kelapa muda yang hampir seluruh kantin menyediakannya, itulah suasana Turtle Beach, yang hanya ramai dikunjungi pada hari-hari tertentu saja.
        “Des, kita berhenti di mana nih?” Tanya Dimo sambil terus memegang stang sepeda motornya.
        “Mm. . . di kafe itu aja yuk!” usul Destri sambil menunjuk kafe yang dimaksudnya.
        Mereka kemudian menghampiri kafe yang di dominasi cat berwarna biru itu. Setelah memarkir kendaraannya, mereka kemudian masuk dan memilih tempat duduk. Namun, baru saja mereka duduk, mata Destri langsung tertuju pada sepasang muda mudi yang duduk di pojok paling belakang. Ia sangat mengenali wajah keduanya.
        Kamu kenapa Des?” Tanya Dimo keheranan melihat perubahan air muka sahabatnya.
        Kok kayak mau nangis gitu?” lanjutnya.
        Nggak apa-apa kok Dim.” jawab Destri sambil menggelengkan kepalanya.
        Mata kamu nggak bisa berbohong Des. Kamu tuh mau nangis, itu berarti ada hal yang menyebabkan mata kamu berkaca-kaca kayak gitu” ulas Dimo.
        Karena tidak mendapat jawaban, Dimo pun menoleh ke belakang. Karena saat melihat arah belakang tempat duduknya tiba-tiba mimik wajah Destri langsung berubah, jadi ia berkesimpulan ada sesuatu di belakangnya sehingga membuat Destri seperti itu. Saat melihat dua orang yang duduk di bangku pojok paling belakang, Dimo bergumam sendiri “Oh. . . itu rupanya.
        “Kamu masih belum bisa ngelupain dia?” Tanya Dimo sambil menatap lekat wajah sahabatnya.
        Destri hanya menarik nafas dalam-dalam dan berupaya agar air matanya tidak jatuh.
        “Des. . . dia itu udah nyakitin kamu. Dia udah tega mengkhianati cinta kamu. Buat apa kamu mengingat-ingat dia lagi, buat apa juga kamu jatuhin air mata untuk orang yang udah nyakitin hati kamu” jelas Dimo penuh emosi.
        Sebenarnya ingin sekali ia memeluk wanita yang ada di hadapannya, agar hati sahabatnya tersebut menjadi tentram. Namun, ia tidak ingin menjadi perhatian orang di sekitarnya. Ia juga menyadari bahwa dirinya hanyalah sahabat yang tidak boleh bertindak lebih layaknya seorang kekasih.
        “Iya Dim, aku akan mencoba ngelupain dia, aku juga nggak mau terus berlarut-larut dalam kesedihan” jawab Destri mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya tertoreh luka yang sangat dalam. Entah sampai kapan luka itu akan sembuh. Mungkin sampai ada pria yang dapat membuatnya jatuh cinta kembali.
        “Hmmm. . . . . mendingan kita ke sana aja yuk. . .” usul Dimo sambil menunjuk ke arah pantai.
        “Di sana kamu bakalan lebih tenang, karena segala kepedihan kamu akan hanyut terbawa oleh ombak-ombak yang menggulung.” Lanjut Dimo sambil tersenyum.
        “Ah kamu lebay deh Dim, yuk. . . .”
        “Nah. . . . gitu dong. Aku kan nggak mau ngeliat kamu sedih melulu.”
        Kedua sahabat itu berjalan menyusuri pesisir pantai. Kadang Dimo tampak usil, ia memercikan air ke arah Destri. Tentu hal itu membuat Destri kesal, sehingga ia pun membalas hal yang sama kepada Dimo.  Angin pantai yang bertiup agak kencang, mengibaskan rambut Destri yang panjang terurai. Dimo menoleh ke arah Destri, dinikmatinya wajah cantik sahabatnya itu.
        “Andai kamu bisa jadi kekasihku Des, betapa bahagianya aku memiliki bidadari kayak kamu” bisiknya dalam hati.
        “Kamu kenapa Dim?” Tanya Destri.
        “Kok senyum-senyum sendiri?” lanjutnya.
        “Hee. . . . kalau ku perhatikan, wajah kamu mirip banget sama artis lho Des.” ucap Dimo tersenyum.
        Masa sih?” Destri menjadi tersipu.
        Mirip artis siapa Dim?” tanyanya penasaran.
        Mm. . . . mirip Mpok Nori . . . . hahaha.
        Iich. . . . Kok disamain sama nenek-nenek sih?”  wajah Destri menjadi cemberut sembari menepuk pundak Dimo.
        “Aduh. . . . tenang dulu Des, tapi kan dulu waktu masih muda, Mpok Nori itu cantik lho“ jawab Dimo.
        Kok kamu tahu kalau beliau cantik.” Tanya Destri.
        “yaaa. . . .
Beliau kan temanku waktu TK.” Jawab Dimo bercanda.        
        “Hee. . . . ngada-ngada kamu Dim.” Destri menimpali sambil ikut tertawa.
        “Pulang yuk. . . . udah siang nih” ajaknya kepada Dimo
        Dimo pun mengiyakan ajakan sahabatnya tersebut. Mereka kemudian menuju sepeda motor Dimo, dan pergi meninggalkan deburan ombak yang setia menghiasi pantai.

***






        “Makasih ya Dim.” Ujar Destri setelah sampai di depan gerbang rumahnya.
        “Makasih atas apa Des?” Tanya Dimo dengan mimik wajah tidak mengerti.
        Makasih atas semuanya, kamu udah mau nemenin aku ke pantai, terus mau ngantarin aku sampai ke rumah. Aku merasa bahagia banget punya sahabat kayak kamu Dim.”
        Haha. . . . Destri. . . Destri. . . . kayak baru kenal aku kemaren aja, pakai makasih-makasih segala. Lebay tau nggak.”
        Kita tuh sahabat, jadi harus saling membantu satu sama lain dong.”  lanjut Dimo.
        Iya sih. . . . tapi aku tuh nggak pernah bantuin kamu Dim. Aku malah selalu ngerepotin kamu.” Jawab Destri
        “Suatu saat nanti kamu pasti akan bantuin aku kok Des, ngebantuin ngeluarin air mataku. . . hehe. . .bercanda.
        Eh. . . aku pulang dulu ya. Soalnya mau jemput Ibu lagi nih” pamit Dimo kepada Destri.
        Kamu nggak mau masuk dulu Dim?”
        Nggak usah aja Des, soalnya buru-buru, lain kali aja ya.”
       
Ya udah, hati-hati ya. . . . .” ucap Destri seraya melambaikan tangan kepada Dimo dan kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu rumahnya.
        Dimo pun segera menarik gas sepeda motornya dan melesat kencang menuju tempat ibunya berjualan. Ia terus melewati lorong-lorong pasar tradisional, dan beberapa kali harus menghentikan sepeda motornya kerena begitu ramainya orang-orang yang melintas di lorong tersebut. Tempat tersebut tidak begitu jauh dari rumah Destri, sekitar 2 kilometer saja. Dalam waktu 15 menit, ia sudah melihat sosok ibunya yang sedang melayani pembeli.
        Kok sayurnya masih banyak Bu?” Tanya Dimo setelah mendekat kepada ibunya.
        Nggak tau nih Dim, tumben sekali hari ini pembelinya sepi.
        Hmm..mungkin lagi pada puasa makan sayur kali Bu.gumamnya sambil tersenyum seraya duduk di samping ibunya.
        Ya..namanya juga kan rejeki Dim, ada saatnya dapat rejeki banyak dan ada saatnya dapat yang sedikit, yang penting kita tetap mensyukurinya.” terang ibunya.
        Oh iya, eh. . . . ini kertas apaan Bu?” sambil tangan Dimo mengambil secarik kertas yang terletak di atas papan dekat tumpukan sayur-mayur ibunya.
        Oh itu surat undangan dari masjid tetangga, disana mau diadakan pengajian khusus ibu-ibu” jelas ibunya.
        Tapi kok pagi banget acaranya ya?” ujar Dimo setelah selesai membaca dan meletakkan kembali surat tersebut.
        Ya. . . . mungkin supaya para undangan yang kampungnya jauh, tidak terlalu malam ketika pulang dari pengajian.”
        Kamu sudah makan Dim?” Tanya Ibunya mengingatkan.
       
Belum Bu, nanti bareng sama Ibu aja” jawab Dimo
       
Ya sudah, kita pulang saja. Ibu sudah lapar.” ajaknya kepada putra semata wayangnya.
        Terus, sayur-sayur ini gimana?” Tanya Dimo mengingatkan.
        Iya sebentar, mau ibu titipkan sama Bu Darmi dulu.” Jawab ibunya sambil menitipkan dagangannya ke penjual sayur yang ada di seberang jalan.
        Ayo Dim...” ajak ibunya setelah kembali dari menitipkan dagangannya.
        Mereka berdua pun berjalan menuju sepeda motor Dimo. Dengan perlahan-lahan Dimo membawa kendaraanya, ia tidak ingin ada hal-hal buruk yang menimpa ibunya, karena ia tidak punya siapa-siapa lagi untuk menjadi penyemangat hidupnya. Ibunya adalah sekaligus ayah bagi dirinya. Ibu yang tangguh dan tak pernah menyerah dalam segala kenyataan dan keadaan. Ia ingin terus menerus membuat ibunya tersenyum, dan bangga memiliki anak seperti dirinya.

***






        Kota Singkawang terus diguyur hujan. Sepertinya jarang sekali menikmat hari-hari yang terang benderang. Kini mendung yang menghitam selalu memenuhi kawasan Kota Amoy tersebut.
        Tok. . . tok. . . tok. . .”
        “Assalamu’alaikum. . . .” terdengar suara salam dari balik pintu. Bu Ani segera melangkahkan kakinya menuju pintu depan.
        “Wa’alaikumsalam. . . .” Dilihatnya yang datang adalah putranya.
        “Dari mana saja kamu Dim? jam segini kok baru pulang? kenapa tadi tidak izin sama Ibu?” Bu Ani langsung menodong Dimo dengan beberapa pertanyaan.
        “Dari Pontianak, Bu. Tadi ngantarin Destri” Jawab Dimo sambil menaruh helmnya di lemari.
        “Tadi tuh Destri mendadak minta antar, kerena besok dia kan udah mulai ospek, Bu. Lagian juga mau izin, ibu masih pengajian di masjid.” Terang Dimo kepada Ibunya.
        “Nak, kamu suka ya sama Destri?” Tanya Ibunya.
        Dimo yang melangkah hendak menuju kamar, menghentikan langkahnya karena mendengar pertanyaan Ibunya.
        Emang kalau Dimo suka sama Destri kenapa Bu? Lagian juga Dimo udah besar, udah ngerti mana yang baik dan mana yang buruk untuk diri Dimo.Ucap Dimo sembari duduk di kursi.
        Iya ibu ngerti perasaan kamu Dim, tapi kita ini tidak punya apa-apa. Sedangkan Destri anak orang berada. Dia pasti akan merasa sengsara jika nanti hidup bersama kita, kita tidak pantas untuk mendampingi hidupnya. Ibarat burung pipit yang mengharap cinta dari merpati.” Kata Ibunya dengan suara lembut.
        Mendengar penuturan Ibunya, Dimo pun menjadi terpancing emosinya.
        “Bu. . . . walaupun hidup kita miskin, jika memang Destri cinta sama Dimo, dia pasti tidak memandang status ekonomi kita..!” Nada bicara Dimo mulai meninggi.
        Iya, ibu ngerti Dim, tapi, apakah kamu mau menyengsarakan wanita yang kamu cintai dengan kondisi kita yang seperti ini?”
        “ Dimo, lebih baik kamu jauhi dia. Ibu takut suatu saat dia mencintai kamu. Kamu harus bisa merelakan dia bahagia bersama laki-laki yang pantas mendampinginya.” Ucap Bu Ani menyadarkan putranya.
        Mendengar perkataan Ibunya yang tidak menyetujui kedekatannya dengan Destri, membuat emosi Dimo memuncak.
        “Bu! Apakah ibu tidak ingin melihat anak ibu ini bahagia? apakah ibu hanya ingin melihat anak ibu ini sengsara? Ibu memang tidak pernah mengerti Dimo!” bentak Dimo seraya membanting pintu kamarnya.
Ia tidak habis pikir, mengapa ibunya sampai berpikir seperti itu. Menjauhi Destri, itu adalah sesuatu yang sangat berat baginya.
        Untuk meredakan emosinya, Dimo mengambil koran di kamarnya yang tadi pagi belum sempat dibacanya karena terburu-buru mengantarkan Destri. Ia membaca berita demi berita, dan tiba-tiba terhenti saat membaca sebuah berita tentang anak yang tega membunuh ibu kandungnya sendiri, dan anak tersebut akhirnya menjadi gila, dikarenakan rasa penyesalannya.
        Seketika juga pikirannya langsung teringat kepada ibunya. Ia menyadari apa yang baru saja ia lakukan terhadap ibunya, sungguh tidak pantas ia mambentak ibunya hanya karena mendebatkan wanita yang belum tentu akan mencintainya. Ibunya pasti sangat sedih, karena putra semata wayangnya telah berani membentaknya.
        Terbayang olehnya ketika ibunya mengandungnya. Lebih dari Sembilan bulan menderita terus-menerus karena membawanya dalam kandungan. Pada puncaknya ibunya harus mempertaruhkan nyawanya dan bercampur antara keringat, darah, dan air mata, demi mengeluarkannya dari rahim ibunya. Begitu sakit, bagai dicabut kulit dari dagingnya. Ketika telah dilahirkan, masih bercucuran air mata, ibunya pasti menciumnya dan tersenyum menatap sang bayi yang begitu mungil. Tapi kini bayi mungil tersebut telah berani menghardiknya, pasti sakit sekali perasaan ibunya menerima kenyataan ini.
        Tanpa pikir panjang, Dimo melangkah menuju kamar ibunya untuk meminta maaf. Diiringi air mata penyesalannya.

***






        Dimo menatap wajah tua yang tengah terbaring di kasur yang sudah berumur puluhan tahun itu.
        “Bu. . . . .” panggil Dimo kepada Ibunya. Namun tubuh ibunya tidak bergeming sedikitpun. Mungkin ibunya kecapean, sampai ia begitu lelapnya. Ingin ia mengurungkan niatnya untuk meminta maaf. Namun, ia tidak ingin melihat besok pagi ibunya masih menyimpan kesedihan.
        Dimo mendekati ibunya, di pegangnya kaki sang ibu dan di goyang-goyangnya, dengan maksud agar ibunya terbangun. Kaki ibunya terasa dingin saat tersentuh kulit tangannya.
        Apakah ibu sedang sakit?” pikir Dimo. Melihat ibunya yang tidak kunjung bangun, membuat Dimo menjadi cemas. Ia semakin kuat menggoyang kaki ibunya sambil memanggil sang ibu. Mata Dimo mulai berkaca-kaca, secepatnya ia meraih tangan ibunya. Dirasakannya tidak ada lagi denyut nadi di tangan sang ibu. Mata Dimo tak lagi mampu membendung air matanya. Dimo menangis sejadi-jadinya sambil memeluk ibunya yang sudah tidak bernyawa lagi.
        “Bu. . . jangan tinggalin Dimo Bu. . .maafin Dimo Bu. Jangan tinggalin Dimo. . .!” teriak Dimo sambil menggoyang-goyang jasad ibunya. Tubuh Dimo terasa lumpuh. Kini tidak ada lagi yang menemani hidupnya. Kedua lilin yang selama ini menemani hidupnya telah padam untuk selamanya. Kedua lilin tersebut padam terlebih dahulu sebelum Dimo mampu memberikan tempat yang indah untuk kedua lilin tersebut ketika masih menyala.
        Di luar sana, hujan semakin lebat. Langit seakan ikut menangis menemani Dimo yang terus memeluk tubuh ibunya yang telah tidur untuk selama-lamanya.


***






        Beberapa hari sepeninggal sang Ibu, Dimo mencari kerja demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Ia menjadi juru parkir di sekitar jalan Alianyang, tepatnya di depan toko pakaian. Jam kerjanya adalah mulai dari jam 8 pagi hingga waktu Zuhur.
        Sambil menjaga sepeda motor, Dimo duduk di bawah pohon di dekat gerobak Mas Tris, penjual es cendol di sekitar tempatnya bekerja.
        “Esnya satu, Mas Tris. . . .” ucap Dimo memesan es cendol.
        “Waduh. . . . hari ini panas banget ya Dim. . . .” kata Mas Tris seraya memberikan segelas es cendol kepada Dimo.
        “Iya nih Mas. . . neraka lagi bocor kali ya. . . . hehe. . . “ jawab Dimo sambil tertawa.
        Hehe. . . . iya kali, gara-gara global warming, sampai-sampai tembus ke neraka.” sahut Mas Tris sambil membuatkan pesanan es untuk pria yang menggunakan kemeja bergaris, yang duduk tidak jauh dari gerobak Mas Tris.
        Dimo memperhatikan pria tersebut, tiba-tiba wajahnya menjadi berseri dan kemudian memanggil pria tersebut.
        “Baim
! Baim! Kamu Baim kan?” teriak Dimo mendekati pria yang dipanggilnya Baim tersebut.
        “Hei. . . .  iya, aku Baim. . . ., Kamu. . . . Dimo kan?” balas Baim sambil menyalami Dimo. Baim adalah teman sekelas Dimo sewaktu masih di bangku Sekolah Dasar. Setelah tamat, Baim dan keluarganya pindah ke Kota Pontianak.
        Mereka kemudian asyik menceritakan pengalaman masing-masing. Kadang-kadang Mas Tris juga ikut menimpali.
       
Kamu kok belum married Im?” Tanya Dimo
        “Kamu kan dari dulu paling jago tuh kalau urusan ngegodain cewek.” lanjut Dimo.
        Hehe. . . . biarpun jago ngegodain cewek, tapi kan aku juga punya tipe cewek idaman Dim. Jadi nggak asal-asalan milih.”
        “Nah, kamu sendiri kenapa belum menikah?” Baim balik bertanya.
        “Ah, aku mana jago masalah ngedekatin cewek.” jawab Dimo.
        Mau aku carikan?” tawar Baim.
        “Boleh, janda juga nggak apa-apa, asal belum menikah” jawab Dimo asal-asalan.
        ”Hush. . . . mana ada janda yang belum menikah Dim. .” sahut Mas Tris.
        Eh. . . kamu kerja apaan di Pontianak?” Tanya Dimo sambil menyusun sepeda motor.
        “Aku bekerja di restoran Dim, ya lumayan lah buat nebelin dompet.” Sahut Baim sambil menyeruput es cendol.
        Kamu nggak berminat ikut aku ke Pontianak Dim?”
       
Gaji kamu bakalan lebih besar daripada jadi juru parkir kayak gini.” lanjut Baim.
        Mm. . . .boleh juga tuh.” Jawab Dimo menerima tawaran teman lamanya itu. Dimo menjadi teringat akan Destri. Sudah lama sekali ia tidak berkomunikasi dengan Destri, semenjak handphone-nya ia jual untuk melunasi hutang ibunya.
        “Ah Destri, sudah lama banget aku merindukan kamu.” gumam Dimo dalam hati. Kedua temannya heran melihat Dimo yang senyum-senyum sendiri.
        Kamu kenapa Dim?” Tanya Mas Tris.
        Eh, nggak kenapa-kenapa kok Mas, aku hanya terbayang aja kalau sudah kerja di Pontianak nanti, tentu banyak uang yang akan aku pegang nanti.”
        Kapan kita ke Pontianak Im?” Tanya Dimo kepada Baim yang sedang membayar es yang telah dihabiskannya.
        Mmm. . . . kalau besok gimana? kamu bisa nggak?” Baim balik bertanya.
        “Bisa Im, Bisa!“ jawab Dimo dengan wajah sumringah.
       
Oke, besok kita berangkat, aku pergi dulu ya Dim” pamit Baim kepada Dimo.
        Dimo menjadi tidak sabar menanti datangnya hari esok. Bukan karena pekerjaan yang membuatnya ingin segera pergi ke Pontianak, tetapi karena ia tidak sabar untuk bertemu dengan pujaan hatinya, sahabat yang dicintainya, Destri.

***






        Sekitar pukul 05.30 Dimo dan Baim sudah berada di terminal Pontianak. Mereka duduk dengan ditemani hiruk pikuk Kota Singkawang, dan kepulan asap kendaraan. Sambil menunggu datangnya Bis “Angin”, mereka menikmati masa-masa terakhir di kota itu. Terutama Dimo, ia merasa berat sekali meninggalkan kota tersebut. Banyak kenangan yang terukir dan sulit untuk dilupakan begitu saja. Ia merasa tidak akan pernah kembali lagi ke Kota Singkawang, namun ia segera membuang jauh-jauh pikiran tersebut.
        “Dim! Tuh bisnya udah datang!...yuk.”
        Mereka segera menyongsong kedatangan bis berwarna hijau muda itu. Bis tersebut berhenti, Dimo dan Baim masuk dan mencari tempat duduk yang masih kosong.
        Sang surya semakin menampakan sinarnya di ufuk Timur cakrawala, menembus embun pagi yang mendinginkan bumi. Bis “Angin”  jurusan Bengkayang – Pontianak tersebut kemudian melesat kencang menembus embun yang belum sepenuhnya membumbung tinggi ke angkasa, membawa Dimo dan Baim beserta penumpang lainya yang akan menuju Kota Pontianak.
        “Eh Im. . . . Nanti aku tinggal di mana?” Tanya Dimo yang baru menyadari hal tersebut.
        “Tenang aja Dim, untuk sementara waktu kamu tinggal di rumah kontrakanku dulu, sambil kita cari rumah kontrakan buat kamu” terang Baim menenangkan kecemasan sahabatnya.
        Tapi kamu nggak merasa direpotkan kan?” Tanya Dimo sekali lagi seraya menguap.
        Hehe. . . ., ya nggak lah Dim, lagian kita kan sambil mencari rumah kontrakan buat kamu.” jawab Baim.
        Kedua sahabat itu sudah terserang oleh rasa kantuk. Udara yang dingin mendukung sekali untuk tidur di bawah naungan atap bis. Sementara bis terus melaju melintasi jembatan Kapuas, sebuah jembatan yang melintasi sungai terpanjang di Kalimantan Barat tersebut.

***






        Sesampainya di Pontianak, Baim segera memesan ojek untuk mereka berdua.
        “Kita nggak jalan kaki aja Im?”
        “Haha...Kamu yakin mau jalan kaki?” Baim balik bertanya kepada Dimo.
        “Rumah kontrakanku tuh jauh dari sini Dim. Pakai kendaraan saja sekitar 10 menit, apalagi kalau jalan kaki, bisa-bisa nanti malam kita baru sampai.” Lanjutnya
        “Oh...Kukira dekat-dekat sini.” Ujar Dimo sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
        “Ayo naik Dek, kok malah bengong?” Ucap salah satu tukang ojek yang hendak mengantarkan mereka ke rumah kontrakan Baim. Teguran tersebut membuat Dimo tersadar dan segera membonceng.
        Baim pun memberitahukan alamat rumah kontrakannya kepada tukang ojek. Kemudian mereka segera menuju alamat tersebut. Benar kata Baim, sekitar 10 menit mereka baru sampai di pekarangan rumah kontrakan Baim.
        Rumah berwarna kuning tersebut sengaja dibangun memanjang dengan dibagi menjadi beberapa kamar. Ada sekitar lima kamar dan tampaknya sudah terisi semua, karena disetiap pintu kamar sudah ada sandal-sandal pemiliknya.
        “Kok kamu nggak tinggal di rumah aja Im?” Tanya Dimo setelah mereka masuk ke rumah Baim.
        “Gimana ya...aku Cuma nggak mau aja terganggu dengan suasana di rumah. Di rumah tuh orang tuaku punya warnet, dan yang pasti hampir setiap waktu selalu bising.” Terang Baim panjang lebar.
        “Iya juga Im...Kalau aku jadi kamu juga pasti memilih untuk tinggal sendiri, kan lebih mandiri.”
        “Oh iya, kamu kapan mau ngajak aku ke restoran?” Tanya Dimo menyadarkan sahabatnya akan tujuannya ke Pontianak.
        “Haha...Jangan khawatir Dim. Bagaimana kalau nanti malam?”
        “Boleh...Ikan sepat ikan gabus lebih cepat lebih baik.” Ujar Dimo menanggapi pembicaraan Baim. 

***






        Dalam waktu beberapa bulan, Dimo akhirnya mendapatkan rumah kontrakan untuk tempat tinggalnya. Rumah tersebut tidak begitu besar, hanya dua ruangan saja, satu untuk kamar, dan satunya lagi ruang tamu. Namun bagi Dimo, rumah tersebut sudah cukup luas untuknya. Rumah yang berada tidak jauh dari jalan raya tersebut terletak di jalan Ahmad Yani.
        Dimo juga bekerja di restoran tempat dimana Baim bekerja. Gajinya lumayan besar, sehingga Dimo bisa membeli sebuah handphone baru. Ia sengaja memilih untuk membeli handphone telebih dahulu, karena ia tidak sabar ingin segera menghubungi Destri. Ia pun sudah memiliki sepeda motor lagi, yang tentu akan  lebih mempermudahnya untuk pergi ke mana-mana.
        Hmm. . . . Akhirnya aku bisa juga mandiri.” ucap Dimo tersenyum, seraya merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Ia segera mengangkatnya.
        Halo Im. . . Ada apa?”
        Sekarang?”
       
Oh . . . iya. . . iya, aku segera ke sana” ternyata Baim mengajak Dimo untuk menikmati malam minggu di kafe, sekalian Baim akan mengenalkan kekasihnya kepada Dimo. Dimo segera meraih jaketnya yang tergantung di balik pintu kamarnya. Tanpa merapikan rambutnya terlebih dahulu, ia pun segera menunggangi “Bison”nya, sepeda motor kreditannya.
        Dalam waktu singkat, Dimo sudah sampai di kafe yang dimaksud Baim. Ia pun segera mencari dimana Baim dan kekasihnya duduk. Matanya langsung melihat tubuh kedua pasangan yang sedang duduk berhadapan. Kekasih Baim duduk menghadap Baim, sehingga wajahnya tidak terlihat oleh Dimo. Dimo segera melangkah menuju kedua pasangan tersebut.
        “Hai Im, udah nunggu lama nih?” Tanya Dimo seraya duduk di samping Baim.
        Nggak juga kok, sekitar 5 jam yang lalu” jawab Baim bercanda.
        Saat mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang ada di hadapannya, betapa terkejutnya Dimo. Gadis berambut panjang dan berponi itu ternyata Destri. Wanita yang dicintainya, gadis yang dirindukannya. Kebahagiaan yang ia bayangkan bila nanti bertemu Destri, berubah menjadi kepedihan. Kini wanita itu telah menjadi kekasih hati temannya sendiri, yang tentu lebih sempurna ketimbang dirinya. Ia jadi teringat ucapan ibunya, bahwa dia tidak pantas untuk Destri cintai, Destri tercipta memang untuk tidak dimilikinya. Dia terlalu rapuh sebagai ranting untuk menyangga buah cinta dari Destri.
        “Destri?”
        “Dimo?” ucap Destri pula, hampir bersamaan.
        Lho? ternyata kalian sudah saling kenal. . .” kata Baim seraya memperhatikan wajah keduanya.
        Iya Im, Dimo itu sahabatku sejak SMA dulu” jelas Destri kepada kekasihnya.
        Kenapa kamu nggak bilang Dim, kalau kamu punya kenalan disini?” Tanya Baim.
        Hehe. . . . karena aku takut Destri udah nggak kenal lagi sama aku.” Jawab Dimo mencoba tertawa, meskipun hatinya menangis darah.
        Dimo sebenarnya ingin segera beranjak dari tempat itu, ia tak sanggup untuk terus berlama-lama disana, hanya semakin menambah kepedihannya saja.
        Im, Des, aku pulang dulu ya. . . .” ucap Dimo berpamitan kepada dua belahan jiwa itu.
        Kok cepat banget Dim?” Tanya Baim.
        “Aku ngerasa nggak enak badan Im. Kayaknya mau demam.” Jawab Dimo beralasan.
        Ya udah, kalau begitu, kamu istirahat aja tuh” saran Baim
       
Iya Im. . . ya udah, aku duluan ya. . . .” seraya meninggalkan Baim dan Destri.
        Destri sebenarnya tahu apa yang terjadi pada diri Dimo. Ia melihat perubahan pada wajah Dimo saat menatapnya tadi. Bagaimanapun juga, Dimo adalah orang yang begitu dekat dengannya, dan dia juga yakin kalau Dimo masih menyimpan  rasa cinta untuknya. Destri menyangsikan kalau Dimo merasa cemburu dan kecewa.
        “Dim. . . . maafin aku. Aku udah sering nyakitin kamu, padahal kamu selalu ada ketika aku butuhkan. Namun aku hanya bisa ngejadiin kamu sahabat. Jika aku disuruh memilih siapa pria terakhir untuk pendamping hidupku, maka aku akan memilih kamu Dim, dan aku akan membalas cinta suci kamu. Namun untuk saat ini, biarlah dulu cintaku untukmu ku simpan dalam hatiku. Aku juga ingin tahu di mana batas kesetiaan kamu untuk mencintaiku.” bisik kata hati Destri melepas kepergian sahabatnya.

***






        Jam menunjukkan pukul 23.00, namun mata Destri tidak kunjung terpejam. Ia terus memikirkan Dimo. Rasa bersalah terhadap sahabatnya itu terus menghantuinya. Tiba-tiba ia berseru dan wajahnya berseri.
        Besok kan tanggal 2, berarti Dimo ulang tahun. . . . aku ingin jadi orang pertama yang ngasih ucapan selamat ke dia.
        Saat jam sudah menunjukkan pukul 00.00, ia mencoba menelepon Dimo. Namun ia kecewa karena handphone Dimo tidak aktif.
       
Ah Dimo berarti udah tidur. Atau jangan-jangan Dimo beneran sakit. . .?” Tanya Destri kepada dirinya sendiri.
        Mending besok aku samperin aja ke rumahnya, sekalian aku ngasih kado sebagai tanda maaf ku ke Dimo.”
        Destri tersenyum membayangkan Dimo yang bahagia menerima kado darinya besok.


***






        Mentari kembali hadir menemani para embun pagi, kabut pagi seakan masih enggan untuk berpaling dari Kota Bersinar tersebut.
        “Hmm...ini kayaknya lebih pantas buat Dimo.” Kata Destri bergumam sendiri.
        Ia pun segera mengambil switter berwarna abu-abu, dan kemudian memberikannya ke kasir.
        “Mbak..sekalian dibungkusin ya...” Ucap Destri.
        “Iya Mbak. Kadonya mau dikasih pita atau nggak?” Tanya kasir yang hendak membungkus kado Destri.
        “Mm, dikasih aja Mbak, biar tambah menarik.” Jawab Destri sambil duduk di kursi sambil menunggu switter tersebut dibungkus. Ia mencoba menelpon kembali. Namun masih seperti tadi malam, handphone Dimo masih belum aktif.
        “Ini Mbak kadonya...”
        “Oh...Semuanya berapa Mbak?” Tanya Destri.
        Kasir tersebut menyebutkan jumlah rupiah yang harus Destri bayar. Destri pun segera mengambil beberapa lembar uang di dalam dompet pink-nya.
        Sesudahnya, Destri segera menuju jalan Ahmad Yani. Ia pun akhirnya sampai juga di depan rumah kecil tempat kediaman Dimo. Rumah tersebut sangat mungil, dihiasi perpaduan cat warna biru tua dan biru muda, di depannya tampak beberapa tanaman bougenville.
        Destri melangkah mendekati pintu rumah Dimo sambil membawa kado yang telah dia siapkan untuk Dimo. Pintu rumah Dimo masih tampak tertutup rapat, sepertinya penghuni rumahnya masih tidur.
        “Assalamu’alaikum...”
        Tidak ada jawaban.
        “Assalamu’alaikum...” Ulangnya sekali lagi. Namun tetap tidak ada jawaban.
        “Jangan-jangan alamat dari Baim ini salah. Ah, tapi masa sih dia tega ngebohongin aku.” Gumam Destri memandangi kertas yang berisi alamat rumah Dimo.
        “Dim! Kamu ada di dalam kan?”
        Destri meninggikan nada suaranya.
        “Apakah Dimo marah banget ya sama aku, sampai-sampai dia nggak mau ngebukain pintu buat aku.” Pikir Destri.
        Ia pun memberanikan diri untuk membuka pintunya. Tidak ada kesulitan untuk membukanya, karena pintu tersebut tidak dikunci. Destri pun melangkahkan kakinya masuk ke rumah Dimo. Alangkah kagetnya ia saat melihat suasana di dalam. Badannya menjadi gemetar, dadanya bergemuruh, wajahnya menjadi pucat pasi, dan kado yang dipegangnya pun terjatuh. Bagaimana tidak, orang yang akan ditemuinya, sahabat yang selama ini setia menemaninya telah tergantung tak bernyawa di ruang tamu tersebut.
        “Dimo...!” Destri berteriak histeris.
        “Dimo...kenapa kamu tega ngelakuin ini Dim? Kenapa kamu tega mengakhiri hidupmu dengan cara kayak gini Dim?” Teriak Destri sambil memegangi kaki Dimo. Ia merasa telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Sahabat yang selalu ada untuknya, yang selalu memberi solusi jika ia ada masalah, yang selalu menghiburnya jika ia bersedih, dan sahabat yang selalu mendampinginya dalam kondisi apapun, kini telah pergi meninggalkannya dengan cara yang mengenaskan.
        “Dim...kenapa kamu ngelakuin tindakan bodoh ini? Bukankah kamu pernah bilang kalau bunuh diri itu dosa Dim? Kamu jahat Dim! Kamu tega ninggalin aku, sahabat kamu sendiri! Dimo jangan tinggalin aku! Kalau kamu hidup lagi, aku akan membuat kamu bahagia, aku akan mencintai kamu Dim! Dim, kembali lah, aku mohon.”
        Namun orang yang diajaknya bicara tetap tidak bergeming sedikitpun. Pengelihatan Destri semakin lama semakin terasa gelap. Ia akhirnya tak sadarkan diri di bawah kaki Dimo yang menggantung. Air mata Destri terus mengalir membanjiri rumah Dimo, air mata perpisahan dua sahabat yang begitu dekat. Andai Dimo dapat hidup kembali, tentu ia akan bahagia mendengar penuturan Destri. Namun apa daya semua telah terlambat, Dimo tidak akan pernah merasakan kebahagiaan memiliki kekasih seperti Destri. Ia lebih memilih tersiksa di alam sana ketimbang tersiksa menanggung cinta yang tak kunjung terbalaskan.

***






        “Des, Mama ke kantor dulu ya...” Ucap mamanya dari balik pintu.
        “Iya Ma...hati-hati ya.” Jawab Destri singkat seraya bangkit dari tempat tidurnya. Ia mengalihkan pandangannya ke foto yang terletak di atas meja belajarnya. Wajah seorang sahabat terbaiknya yang kini tidur lelap dengan damai.
        Satu tahun sudah kepergian Dimo. Ia pergi bukan untuk sementara atau beberapa hari saja, namun untuk selamanya. Hari ini sebenarnya adalah hari ulang tahun Dimo yang ke-20, namun kini ia tidak bisa lagi menikmati hari ulang tahunnya.
        Destri segera memasukkan foto Dimo ke dalam laci, dan ia beralih mengambil secarik kertas yang sudah tampak kusam. Dengan hati-hati ia membukanya dan membaca dalam hati.
        Untuk wanita yang kucinta sepanjang masa.
        Destri, sebagaimana yang kamu ketahui tentang perasaanku ke kamu, bahwa begitu cinta dan sayangnya aku sama kamu. Aku kadang membayangkan betapa indah hidup ini jika aku bisa selamanya berdampingan sama kamu. Namun, harapan itu hanyalah sekadar harapan saja. Kenyataannya kita tidak pernah bisa bersama. Aku hanya bisa menjadi sahabat kamu, sahabat selamanya. Betul kata orang kalau burung pipit tidak akan pernah berdampingan dengan merpati. Aku hanyalah pipit yang kecil dan hina di depan mata kamu, sedangkan kamu merpati yang senantiasa dipuja-puja.
        Destri, aku pergi dengan cara ini karena aku udah nggak sanggup lagi menjalani hidup ini dan karena cintaku selama ini yang tidak pernah menemukan titik kebahagiaan. Biarlah cinta kasihku untukmu terkubur bersama terkuburnya jasadku nanti. Kamu emang nggak tercipta buat aku. Aku nggak akan pernah bisa pantas untuk mendampingi kebahagiaan kamu, dan aku yakin kamu pasti akan lebih bahagia bila aku udah nggak ada, pergi untuk selamanya menyusul kedua orangtuaku. Aku berharap kamu akan tersenyum melepas kepergianku. Jangan teteskan air mata kamu untuk melepas kepergianku, nggak pantas kamu nangisin sahabat kamu yang hina ini, kamu nggak pantas bersedih untuk orang yang nggak pernah kamu cintai. Simpan air mata kamu untuk menangisi kebahagiaanmu pada saat menemukan cinta sejati nanti.
        Destri, aku harap kamu hapus semua kenangan tentang aku. Kenangan itu hanya akan mengganggu pikiran kamu saja. Jangan pernah ingat-ingat diriku lagi. Aku akan mencoba bahagia bila kamu bahagia dengan laki-laki lain, meski di dalam hatiku berlumur duka.
        Destri, pesanku untuk kamu, jangan pernah kamu sia-siakan orang yang tulus mencintai kamu. Karena kamu bakalan menyesal saat dia pergi untuk selamanya, karena disaat itulah kamu akan menyadari betapa tulusnya dia mencintai kamu.
        Sekian dari aku Des, semoga kamu bahagia dengan hidup kamu, bersama laki-laki yang sempurna. Biarlah aku tenang di sini memendam rasa cintaku, cintaku yang lara.
Yang penuh luka
DIMO
        Untuk kesekian kalinya Destri menangis membaca goresan tinta terakhir dari sahabatnya. Sebuah rangkaian kata-kata yang menyadarkan ia bahwa begitu cintanya Dimo terhadap dirinya. Namun kini orang yang begitu mencintainya tersebut telah tiada, dan takkan mungkin lagi mengharapkan cintanya, dan tentu mereka tak akan pernah bersatu apalagi hidup bersama, kecuali bila Tuhan berkehendak untuk menyatukan mereka di alam sana.
        “Selamat ulang tahun Dimo...Semoga kamu bisa tenang dan bahagia di sana...” Ucap Destri dengan diiringi butiran-butiran air mata yang terus mengalir dari mata indahnya.

***TAMAT***
(Singkawang, Minggu, 1 Juli 2012:09.55)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar