Karya : Puji Budi Utomo
Rangkaian mendung mulai menyelimuti langit sore itu. Disusul
bunyi guntur yang ikut melengkapi suasana langit. Titik-titik air tampak membasahi bumi, diiringi tiupan
sang bayu yang serasa menusuk tulang. Di sebuah toko yang sedari tadi tutup dikarenakan hujan,
tampak dua anak muda berteduh menunggu hujan reda.
“ Duh. . . kalau hujannya kayak gini,
kapan redanya nih? “ ucap pemuda yang sedari tadi memainkan tombol handphone-nya.
“ Kamu nggak kedinginan Des? “
lanjutnya. Merasa tidak ada jawaban, ia pun menoleh ke sahabatnya.
“Hei. . . Des, Destri!” sambil mencolek
pinggul wanita yang dipanggilnya Destri.
“Eh. . . kenapa Dim?” Tanya Destri agak
terkejut
“Kamu
nggak dengar pertanyaanku tadi?” Dimo balik bertanya.
“Dengar kok, emang kamu nanya apa?”
“Dengar kok, emang kamu nanya apa?”
“Tuh kan,..katanya dengar, kamu ngelamunin apa sih?”
Tanya Dimo penuh selidik.
“Nggak
apa-apa kok Dim, cuma ngeliatin pelangi itu aja tadi. Indah ya. . .” ujar Destri sembari menunjuk bianglala yang
membentuk busur dan menghiasi langit.
“Hust...Jangan ditunjuk! nanti jari kamu copot lho.“ tegur Dimo sambil tertawa.
“Hee.
. . . percaya aja kamu
sama mitos Dim.“ Destri ikut tertawa.
“Eh.
. . Pulang yuk, udah reda nih.” ajak Dimo kepada Destri.
“Yuk. . . .” jawab Destri seraya menaiki sepeda motor Dimo.
“Nih. . . Pakai jaketku aja, biar kamu nggak kedinginan.” Dimo memberikan jaketnya kepada Destri.
“Yuk. . . .” jawab Destri seraya menaiki sepeda motor Dimo.
“Nih. . . Pakai jaketku aja, biar kamu nggak kedinginan.” Dimo memberikan jaketnya kepada Destri.
“Iya
Dim. . . . Makasih ya. . .”
Kedua sahabat itu pun melaju menuju rumah mereka. Mereka
berdua adalah sahabat sejak kelas 1 SMA. Persahabatan itu dimulai ketika MOS,
tepatnya Out Bond. Di mana pada saat itu Destri tiba-tiba
perutnya merasa sakit dikarenakan maagnya kambuh. Berhubung Dimo adalah ketua kelompok, ia pun diperintahkan
untuk mengantar Destri pulang. Sampai saat ini hubungan persahabatan itu masih
terjalin dengan hangat, meskipun mereka berlainan jenis.
Udara semakin menusuk kulit, dan
kegelapan mulai menyelimuti Kota Singkawang serta disambut nyanyian katak yang
bersahut-sahutan. Namun suara katak tersebut kalah merdunya dengan suara muadzin yang memanggil umat Islam untuk
menegakkan tiang agama.
***
“Assalamu’alaikum. . . . .”
“Wa’alaikumsalam.
. . Kok jam segini baru pulang Dim?”
Tanya Bu Ani menyambut kedatangan putra semata wayangnya.
“Tadi
berteduh Bu, soalnya hujannya lebat banget.” Jawab Dimo sambil melangkah menuju
kamarnya untuk mengganti
pakaian yang agak basah terkena rintikan hujan.
Setelah mengganti pakaiannya, Dimo
menghampiri ibunya.
“Ibu udah salat?” Tanya Dimo ketika menjumpai ibunya yang tengah duduk di kursi ruang tamu sambil membaca sebuah majalah.
“Ibu udah salat?” Tanya Dimo ketika menjumpai ibunya yang tengah duduk di kursi ruang tamu sambil membaca sebuah majalah.
“Belum
Dim, Ibu kan nunggu kamu.” Jawab ibunya
dengan tersenyum.
“Ya udah. . . . Salat yuk, nanti keburu masuk waktu Isya.” Ucap Bu Ani mengingatkan.
Dimo
pun mengikuti langkah ibunya menuju tempat salat. Dengan khusuk dan suara merdu, Dimo
melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an. Meski keluarga ini bukanlah orang berada, namun mereka tetap
taat kepada Tuhan sang Maha Pencipta. Mereka menyadari bahwa apa yang ada di dunia ini adalah
rahmat dari Tuhan, sehingga mereka tak luput untuk bersyukur atas rahmat yang
telah mereka rasakan.
***
Malam semakin larut, namun sang dewi
malam beserta bintang-bintang tidak tampak menghiasi panggung langit. Langit terlihat
hanya diselimuti awan-awan hitam yang siap menjatuhkan ribuan air di muka bumi
bersama kegelapan
yang menemani para insani yang tengah menembus ruang mimpi.
Dimo terbangun dari tidurnya, karena ia
merasakan handphone-nya bergetar. Sengaja ia tidak mengaktifkan nada
deringnya, dengan maksud agar tidak mengganggu ibunya jika ada pesan atau panggilan. Dilihatnya nama Destri
di layar handphone-nya.
“Halo.
. . Des, ada apa?”
“Dim.
. . . Aku gangguin kamu nggak?” Tanya suara wanita di seberang sana.
“Oh.
. . . nggak kok Des.” Jawab Dimo berbohong. Padahal ia sangat terganggu. Tetapi demi wanita yang ia sayangi, ia
rela mengabaikan kondisi tubuhnya yang sangat lelah.
“Emang ada apa Des?” Tanya Dimo sekali
lagi.
”Dim. . . . Aku putus sama Roy.” Mulai
terdengar isak tangis Destri.
“Hah. . .? kok bisa Des?”
“Des,
kamu yang sabar ya, aku yakin semua ini pasti ada hikmahnya kok.” Hibur Dimo kepada Destri.
“Ternyata
Roy itu pembohong Dim. Aku tuh udah percaya banget sama dia, tetapi dia malah ngebohongin aku!”
Suara Destri terdengar tersendat-sendat
karena tangisnya yang semakin meledak-ledak.
“Roy
ngebohongin kamu gimana Des?” Tanya Dimo yang semakin tidak
sabar untuk mendengar cerita Destri.
“Gini
Dim, selama aku pacaran sama Roy, dia tuh dekat banget sama adik angkatnya.
Tentu aja aku nggak curiga.
Tapi kenapa mereka sekarang malah jadian?
Roy bilang kalau dia
bosan pacaran sama aku dan sekarang mutusin aku” Suara Destri hampir tidak terdengar di
telinga Dimo.
“Kurang
ajar! tega-teganya dia nyakitin kamu Des! ”
Ingin rasanya Dimo menghajar Roy. Ia benci sekali dengan orang yang seolah-olah hanya mempermainkan cinta untuk menyakiti wanita. Namun, ia tidak ingin memperpanjang masalah, nanti juga yang terkena imbasnya malah Destri. Ia tidak mau Destri semakin terbebani masalah. Satu masalah ini saja pasti sudah cukup membuat Destri merasa sangat terpukul, apalagi kalau banyak masalah, tentu akan membuat Destri semakin shock.
“Padahal aku tuh cinta dan sayang banget sama dia, Dim. Aku rela ngelakuin apa aja buat dia. Apa yang dia minta selalu aku beri, itu karena aku takut banget kehilangan dia. Tapi apa balasannya? dia malah pergi dengan cewek lain yang dia bilang adik angkatnya. Aku sakit hati banget Dim, aku lebih baik mati daripada menanggung perih ini!”
Ingin rasanya Dimo menghajar Roy. Ia benci sekali dengan orang yang seolah-olah hanya mempermainkan cinta untuk menyakiti wanita. Namun, ia tidak ingin memperpanjang masalah, nanti juga yang terkena imbasnya malah Destri. Ia tidak mau Destri semakin terbebani masalah. Satu masalah ini saja pasti sudah cukup membuat Destri merasa sangat terpukul, apalagi kalau banyak masalah, tentu akan membuat Destri semakin shock.
“Padahal aku tuh cinta dan sayang banget sama dia, Dim. Aku rela ngelakuin apa aja buat dia. Apa yang dia minta selalu aku beri, itu karena aku takut banget kehilangan dia. Tapi apa balasannya? dia malah pergi dengan cewek lain yang dia bilang adik angkatnya. Aku sakit hati banget Dim, aku lebih baik mati daripada menanggung perih ini!”
“
Des. . . . Des. . . . jaga ucapan kamu! Kamu jangan pernah ngelakuin tindakan
bodoh hanya karena cowok
brengsek itu. Dengan dia mutusin kamu, itu membuktikan kalau dia orangnya nggak
setia, dia itu pembohong Des! Des, walaupun nggak ada dia, tapi kamu masih punya banyak
sahabat yang sayang sama kamu.” ucap Dimo panjang lebar.
Ia mencoba menenangkan Destri. Meski Destri pernah menyakiti hatinya,
namun ia tetap menunjukkan sikap baiknya sebagai seorang sahabat. Masih terasa segar diingatannya saat cintanya ditolak oleh
Destri waktu itu.
“Sorry ya Dim. . . . Aku nggak bisa
nerima kamu untuk jadi pacar aku, aku memang sayang sama kamu, tapi itu bukan berarti
cinta. Kamu terlalu baik
untuk menjadi kekasihku Dim, aku merasa sangat bersalah jika nanti kamu terluka
karena pacaran sama aku. Kita sahabatan aja ya Dim.” Ucap Destri seraya berlalu meninggalkannya
sendiri mematung di depan gerbang sekolah.
Hati
Dimo saat itu serasa disayat-sayat pisau, begitu sakit. Ia sedih
mendengar penuturan Destri. Apakah karena terlalu baik itu yang menjadi alasan
dirinya untuk tidak dicintai.
Hati Dimo semakin
hancur berkeping-keping setelah ia mendengar kalau besoknya Destri jadian dengan
Roy. Ingin rasanya menangis, menangisi keadaannya, menangisi lukanya. Ia
menyadari bahwa Roy memang mempunyai banyak kelebihan ketimbang dirinya. Roy
anak gubernur, yang serba berkecukupan, sedangkan dia hanyalah anak tukang
sayur, yang serba pas-pasan. Dia memang tidak pantas mendampingi Destri yang
bergelimang kemewahan.
Namun ia bersyukur Destri masih mau
bersahabat dengannya. Setidaknya ia masih bisa perhatian sama Destri, dan
menunggu keajaiban datang untuk cintanya dibalas oleh Destri. Karena ia sangat
berharap Destri lah wanita yang akan menemaninya hingga ia tidak dapat menatap
dunia. Namun, kini gadis tersebut sedang terluka, dan yang melukainya adalah
lelaki pilihannya sendiri. Sungguh lelaki yang bodoh, batin Dimo.
“Halo.
. . Dim, kamu masih dengar kan?”
pertanyaan Destri tersebut menyadarkan Dimo dari lamunannya.
“Eh. . . . masih kok Des, ya udah,
mendingan kamu sekarang istirahat aja biar pikiran kamu bisa lebih tenang”
saran Dimo kepada Destri.
“Iya
Dim, makasih ya, walaupun luka ini begitu dalam, tapi setelah mendengar saran
dari kamu, aku jadi bisa lebih tabah. Sekali lagi makasih Dim. Kamu emang
sahabat terbaikku. “
Destri pun menutup telepon setelah mengucapkan
selamat malam kepada Dimo.
“itu
semua karena aku sayang dan cinta sama kamu Des. Good night too. . .” jawab Dimo, namun hanya berani didalam hati.
Dimo segera merebahkan kembali tubuhnya
di atas kasur. Matanya menjadi sulit untuk terpejam, pikirannya menerawang jauh
ke masa lalunya. Ia teringat kenangan bersama sang ayah saat masih melengkapi
keluarganya. Namun, keceriaan itu berubah menjadi tangis. Sang ayah telah pergi
untuk selamanya karena tersambar truk saat membelikan kado ulang tahun untuknya. Itu merupakan kado terpahit yang pernah
ia terima, karena ia harus kehilangan salah satu lilin yang selama ini
menerangi hidupnya. Tanpa terasa mata Dimo semakin lama semakin terpejam. Ia mulai memasuki alam maya,
hingga sang fajar hadir kembali membawa sinar yang terang untuk menerangi
dunia.
***
Kukuruyuk.
. . . . . . . .
Si ayam jago menyambut datangnya sang
fajar. Embun pagi tampak berkelip menari-nari karena tertimpa bias cahaya sang
raja siang.
Destri terbangun dari lelapnya, karena dirasakannya
cahaya matahari menyelinap masuk ke kamarnya melalui kaca jendela. Matanya
masih tampak membengkak, karena terlalu lamanya ia menangis tadi malam. Ia tidak langsung bangun,
namun hanya tergolek di tempat tidurnya. Pikirannya masih di bayang-bayangi wajah Roy.
“Aku
harus ngelupain kamu, kamu emang nggak tercipta buat aku. Aku akan mencoba
ngerelain kamu Roy.” Batin Destri dalam kepiluan hatinya.
Walaupun Roy telah pergi dengan wanita
lain, namun Destri tidak akan pernah merasa sepi, karena Dimo pasti akan selalu
menjadi pengobat kesunyiannya.
“Des.
. . . kamu belum bangun?” teriak ibunya dari balik pintu.
“Udah kok Ma. Ini Destri lagi beresin
tempat tidur” jawab Destri berbohong.
“Ya udah,
cepat mandi, terus sarapan. Tuh nasinya udah Mama siapin di meja, Mama berangkat ke kantor dulu.”
“Iya Ma.” jawab Destri singkat.
“Iya Ma.” jawab Destri singkat.
Ia pun segera melangkahkan kakinya
menuju kamar mandi untuk membasahi tubuhnya, agar pikirannya lebih tenang setelah tersiram sejuknya air bak.
setelah
mandi ia pun berdandan dan menuju meja makan.
“Huh. . . . bete banget rasanya di rumah sendirian kayak gini, mendingan ngajak Dimo ke pantai aja.” Gumamnya sendiri sambil memencet tombol handphone-nya dan mencari nama Dimo.
“Huh. . . . bete banget rasanya di rumah sendirian kayak gini, mendingan ngajak Dimo ke pantai aja.” Gumamnya sendiri sambil memencet tombol handphone-nya dan mencari nama Dimo.
***
Suasana pantai sangat sepi sekali, hanya
beberapa pengunjung saja yang tampak sedang berlindung di bawah naungan atap
kantin dari sengatan cahaya mentari. Para pengunjung tersebut tampak sedang
bercanda ria sambil menikmati
air kelapa muda yang hampir seluruh kantin menyediakannya, itulah suasana Turtle Beach, yang hanya ramai
dikunjungi pada hari-hari tertentu saja.
“Des,
kita berhenti di mana nih?” Tanya Dimo sambil terus memegang stang sepeda
motornya.
“Mm. . . di kafe itu aja yuk!” usul Destri sambil menunjuk kafe yang dimaksudnya.
Mereka kemudian menghampiri kafe yang di
dominasi cat berwarna biru itu. Setelah memarkir kendaraannya, mereka kemudian
masuk dan memilih tempat duduk. Namun, baru saja mereka duduk, mata Destri
langsung tertuju pada sepasang muda mudi yang duduk di pojok paling belakang.
Ia sangat mengenali wajah keduanya.
“Kamu kenapa Des?” Tanya Dimo keheranan
melihat perubahan air muka sahabatnya.
“Kok kayak mau nangis gitu?” lanjutnya.
“Nggak apa-apa kok Dim.” jawab Destri
sambil menggelengkan kepalanya.
“Mata kamu nggak bisa berbohong Des. Kamu
tuh mau nangis, itu berarti ada hal yang menyebabkan mata kamu berkaca-kaca
kayak gitu” ulas Dimo.
Karena tidak mendapat jawaban, Dimo pun
menoleh ke belakang. Karena saat melihat arah belakang tempat duduknya
tiba-tiba mimik wajah Destri langsung berubah, jadi ia berkesimpulan ada
sesuatu di belakangnya sehingga membuat Destri seperti itu. Saat melihat dua orang yang duduk di
bangku pojok paling belakang, Dimo bergumam sendiri “Oh. . . itu rupanya.”
“Kamu
masih belum bisa ngelupain dia?” Tanya Dimo sambil menatap lekat wajah
sahabatnya.
Destri hanya menarik nafas dalam-dalam
dan berupaya agar air matanya tidak jatuh.
“Des.
. . dia itu udah nyakitin kamu. Dia udah tega mengkhianati cinta kamu. Buat apa kamu mengingat-ingat dia
lagi, buat apa juga kamu jatuhin air mata untuk orang yang udah nyakitin hati
kamu” jelas Dimo penuh emosi.
Sebenarnya ingin sekali ia memeluk
wanita yang ada di hadapannya, agar hati sahabatnya tersebut menjadi tentram.
Namun, ia tidak ingin menjadi perhatian orang di sekitarnya. Ia juga menyadari
bahwa dirinya hanyalah sahabat yang tidak boleh bertindak lebih layaknya seorang
kekasih.
“Iya
Dim, aku akan mencoba ngelupain dia, aku juga nggak mau terus berlarut-larut
dalam kesedihan” jawab Destri mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya tertoreh luka yang sangat
dalam. Entah sampai kapan luka itu akan sembuh. Mungkin sampai ada pria yang
dapat membuatnya jatuh cinta kembali.
“Hmmm.
. . . . mendingan kita ke sana aja yuk. . .” usul Dimo sambil menunjuk ke arah pantai.
“Di sana kamu bakalan lebih tenang, karena
segala kepedihan kamu akan hanyut terbawa oleh ombak-ombak yang menggulung.”
Lanjut Dimo sambil tersenyum.
“Ah kamu lebay deh Dim, yuk. . . .”
“Nah. . . . gitu dong. Aku kan nggak mau ngeliat kamu sedih
melulu.”
Kedua sahabat itu berjalan menyusuri
pesisir pantai. Kadang Dimo tampak usil, ia memercikan air ke arah Destri. Tentu hal itu membuat Destri kesal,
sehingga ia pun membalas hal yang sama kepada Dimo. Angin pantai yang bertiup agak kencang,
mengibaskan rambut Destri yang panjang terurai. Dimo menoleh ke arah Destri, dinikmatinya wajah cantik
sahabatnya itu.
“Andai kamu bisa jadi kekasihku Des,
betapa bahagianya aku memiliki bidadari kayak kamu” bisiknya dalam hati.
“Kamu kenapa Dim?” Tanya Destri.
“Kok senyum-senyum sendiri?” lanjutnya.
“Hee. . . . kalau ku perhatikan, wajah
kamu mirip banget sama artis lho Des.” ucap Dimo tersenyum.
“Masa sih?” Destri menjadi tersipu.
“Mirip artis siapa Dim?” tanyanya
penasaran.
“Mm. . . . mirip Mpok Nori . . . . hahaha.”
“Iich. . . . Kok disamain sama nenek-nenek sih?” wajah Destri menjadi cemberut sembari menepuk
pundak Dimo.
“Aduh. . . . tenang dulu Des, tapi kan dulu waktu masih muda, Mpok
Nori itu cantik lho“ jawab Dimo.
“Kok kamu tahu kalau beliau cantik.”
Tanya Destri.
“yaaa. . . . Beliau kan temanku waktu TK.” Jawab Dimo bercanda.
“Hee. . . . ngada-ngada kamu Dim.” Destri menimpali sambil ikut tertawa.
“yaaa. . . . Beliau kan temanku waktu TK.” Jawab Dimo bercanda.
“Hee. . . . ngada-ngada kamu Dim.” Destri menimpali sambil ikut tertawa.
“Pulang yuk. . . . udah siang nih”
ajaknya kepada Dimo
Dimo pun mengiyakan ajakan sahabatnya tersebut. Mereka kemudian menuju sepeda motor Dimo, dan pergi meninggalkan deburan ombak yang setia menghiasi pantai.
Dimo pun mengiyakan ajakan sahabatnya tersebut. Mereka kemudian menuju sepeda motor Dimo, dan pergi meninggalkan deburan ombak yang setia menghiasi pantai.
***
“Makasih ya Dim.” Ujar Destri setelah
sampai di depan gerbang rumahnya.
“Makasih atas apa Des?” Tanya Dimo
dengan mimik wajah tidak mengerti.
“Makasih atas semuanya, kamu udah mau nemenin aku ke pantai, terus mau
ngantarin aku sampai ke rumah. Aku merasa bahagia banget punya sahabat kayak kamu Dim.”
“Haha. . . . Destri. . . Destri. . . . kayak
baru kenal aku kemaren aja, pakai makasih-makasih segala. Lebay tau nggak.”
“Kita tuh sahabat, jadi harus saling
membantu satu sama lain dong.” lanjut Dimo.
“Iya sih. . . . tapi aku tuh nggak pernah
bantuin kamu Dim. Aku malah selalu ngerepotin kamu.” Jawab Destri
“Suatu saat nanti kamu pasti akan
bantuin aku kok Des, ngebantuin ngeluarin air mataku. . . hehe. . .bercanda.”
“Eh. . . aku pulang dulu ya. Soalnya mau
jemput Ibu lagi nih” pamit Dimo kepada Destri.
“Kamu nggak mau masuk dulu Dim?”
“Nggak usah aja Des, soalnya buru-buru,
lain kali aja ya.”
“Ya udah, hati-hati ya. . . . .” ucap Destri seraya melambaikan tangan kepada Dimo dan kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu rumahnya.
“Ya udah, hati-hati ya. . . . .” ucap Destri seraya melambaikan tangan kepada Dimo dan kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu rumahnya.
Dimo pun segera menarik gas sepeda
motornya dan melesat kencang menuju tempat ibunya berjualan. Ia terus melewati
lorong-lorong pasar tradisional, dan beberapa kali harus menghentikan sepeda motornya kerena begitu ramainya
orang-orang yang melintas di lorong tersebut. Tempat tersebut tidak begitu jauh
dari rumah Destri, sekitar 2 kilometer saja. Dalam waktu 15 menit, ia sudah
melihat sosok ibunya yang sedang melayani pembeli.
“ Kok sayurnya masih banyak Bu?” Tanya
Dimo setelah mendekat kepada ibunya.
“Nggak tau nih Dim, tumben sekali hari
ini pembelinya sepi.”
“Hmm..mungkin lagi pada puasa makan
sayur kali Bu.”
gumamnya sambil tersenyum seraya duduk di samping ibunya.
“Ya..namanya juga kan rejeki Dim, ada
saatnya dapat rejeki banyak dan ada saatnya dapat yang sedikit, yang penting
kita tetap mensyukurinya.” terang ibunya.
“Oh iya, eh. . . . ini kertas apaan Bu?” sambil tangan Dimo mengambil secarik
kertas yang terletak di atas papan dekat tumpukan sayur-mayur ibunya.
“Oh itu surat undangan dari masjid
tetangga, disana mau diadakan pengajian khusus ibu-ibu” jelas ibunya.
“Tapi kok pagi banget acaranya ya?” ujar
Dimo setelah selesai membaca dan meletakkan kembali surat tersebut.
“Ya. . . . mungkin supaya para undangan yang kampungnya jauh,
tidak terlalu malam ketika pulang dari pengajian.”
“Kamu sudah makan Dim?” Tanya Ibunya mengingatkan.
“Belum Bu, nanti bareng sama Ibu aja” jawab Dimo
“Ya sudah, kita pulang saja. Ibu sudah lapar.” ajaknya kepada putra semata wayangnya.
“Belum Bu, nanti bareng sama Ibu aja” jawab Dimo
“Ya sudah, kita pulang saja. Ibu sudah lapar.” ajaknya kepada putra semata wayangnya.
“Terus, sayur-sayur ini gimana?” Tanya
Dimo mengingatkan.
“Iya sebentar, mau ibu titipkan sama Bu
Darmi dulu.” Jawab ibunya sambil menitipkan dagangannya ke penjual sayur yang
ada di seberang jalan.
“Ayo Dim...” ajak ibunya setelah kembali dari
menitipkan dagangannya.
Mereka
berdua pun berjalan menuju sepeda motor Dimo. Dengan perlahan-lahan Dimo
membawa kendaraanya, ia tidak ingin ada hal-hal buruk yang menimpa ibunya,
karena ia tidak punya siapa-siapa lagi untuk menjadi penyemangat hidupnya.
Ibunya adalah sekaligus ayah bagi dirinya. Ibu yang tangguh dan tak pernah
menyerah dalam segala kenyataan dan keadaan. Ia ingin terus menerus membuat
ibunya tersenyum, dan bangga memiliki anak seperti dirinya.
***
Kota Singkawang terus diguyur hujan. Sepertinya jarang sekali menikmat hari-hari yang terang benderang. Kini mendung yang menghitam selalu memenuhi kawasan Kota Amoy tersebut.
“Tok. . . tok. . . tok. . .”
“Assalamu’alaikum. . . .” terdengar
suara salam dari balik pintu. Bu Ani segera melangkahkan kakinya menuju pintu
depan.
“Wa’alaikumsalam. . . .” Dilihatnya yang
datang adalah putranya.
“Dari mana saja kamu Dim? jam segini kok baru
pulang? kenapa tadi tidak izin sama Ibu?” Bu Ani langsung menodong Dimo dengan
beberapa pertanyaan.
“Dari Pontianak, Bu. Tadi ngantarin
Destri” Jawab Dimo sambil menaruh helmnya di
lemari.
“Tadi tuh Destri mendadak minta antar,
kerena besok dia kan udah mulai ospek, Bu. Lagian juga mau izin, ibu masih
pengajian di masjid.” Terang Dimo kepada Ibunya.
“Nak, kamu suka ya sama Destri?” Tanya
Ibunya.
Dimo yang melangkah hendak menuju kamar, menghentikan langkahnya
karena mendengar pertanyaan Ibunya.
“Emang kalau Dimo suka sama Destri kenapa
Bu? Lagian juga Dimo
udah besar, udah ngerti mana yang baik dan mana yang buruk untuk diri Dimo.” Ucap Dimo sembari duduk di kursi.
“Iya ibu ngerti perasaan kamu Dim, tapi kita ini tidak punya apa-apa. Sedangkan
Destri anak orang berada. Dia pasti akan merasa sengsara jika nanti hidup
bersama kita, kita tidak pantas untuk mendampingi hidupnya. Ibarat burung pipit
yang mengharap cinta dari merpati.” Kata Ibunya dengan suara lembut.
Mendengar penuturan Ibunya, Dimo pun menjadi terpancing emosinya.
“Bu. . . . walaupun hidup kita miskin,
jika memang Destri cinta sama Dimo, dia pasti tidak memandang status ekonomi
kita..!” Nada bicara Dimo mulai meninggi.
“Iya, ibu ngerti Dim, tapi, apakah kamu
mau menyengsarakan wanita yang kamu cintai dengan kondisi kita yang seperti
ini?”
“ Dimo, lebih baik kamu jauhi dia. Ibu
takut suatu saat dia mencintai kamu. Kamu harus bisa merelakan dia bahagia bersama laki-laki
yang pantas mendampinginya.” Ucap Bu Ani menyadarkan putranya.
Mendengar
perkataan Ibunya yang tidak menyetujui kedekatannya dengan Destri, membuat emosi
Dimo memuncak.
“Bu! Apakah ibu tidak ingin melihat anak ibu ini bahagia? apakah ibu hanya ingin melihat anak ibu ini sengsara? Ibu memang tidak pernah mengerti Dimo!” bentak Dimo seraya membanting pintu kamarnya. Ia tidak habis pikir, mengapa ibunya sampai berpikir seperti itu. Menjauhi Destri, itu adalah sesuatu yang sangat berat baginya.
“Bu! Apakah ibu tidak ingin melihat anak ibu ini bahagia? apakah ibu hanya ingin melihat anak ibu ini sengsara? Ibu memang tidak pernah mengerti Dimo!” bentak Dimo seraya membanting pintu kamarnya. Ia tidak habis pikir, mengapa ibunya sampai berpikir seperti itu. Menjauhi Destri, itu adalah sesuatu yang sangat berat baginya.
Untuk meredakan emosinya, Dimo mengambil koran di kamarnya yang tadi pagi belum sempat dibacanya karena
terburu-buru mengantarkan Destri. Ia membaca berita demi berita, dan tiba-tiba
terhenti saat membaca sebuah berita tentang anak yang tega membunuh ibu kandungnya sendiri, dan anak
tersebut akhirnya menjadi gila, dikarenakan rasa penyesalannya.
Seketika juga pikirannya langsung
teringat kepada ibunya. Ia menyadari apa yang baru saja ia lakukan terhadap
ibunya, sungguh tidak pantas ia mambentak ibunya hanya karena mendebatkan
wanita yang belum tentu akan mencintainya. Ibunya pasti sangat sedih, karena
putra semata wayangnya telah berani membentaknya.
Terbayang olehnya ketika ibunya
mengandungnya. Lebih dari Sembilan bulan menderita terus-menerus karena
membawanya dalam kandungan. Pada puncaknya ibunya harus mempertaruhkan nyawanya
dan bercampur antara keringat, darah, dan air mata, demi mengeluarkannya dari
rahim ibunya. Begitu sakit, bagai dicabut kulit dari dagingnya. Ketika telah
dilahirkan, masih bercucuran air mata, ibunya pasti menciumnya dan tersenyum
menatap sang bayi yang begitu mungil. Tapi kini bayi mungil tersebut telah berani menghardiknya,
pasti sakit sekali perasaan ibunya menerima kenyataan ini.
Tanpa
pikir panjang, Dimo melangkah menuju kamar ibunya untuk meminta maaf. Diiringi
air mata penyesalannya.
***
Dimo menatap wajah tua yang tengah
terbaring di kasur yang sudah berumur puluhan tahun itu.
“Bu. . . . .” panggil Dimo kepada
Ibunya. Namun tubuh ibunya tidak bergeming sedikitpun. Mungkin ibunya kecapean,
sampai ia begitu lelapnya. Ingin ia mengurungkan niatnya untuk meminta maaf.
Namun, ia tidak ingin melihat besok pagi ibunya masih menyimpan kesedihan.
Dimo mendekati ibunya, di pegangnya kaki
sang ibu dan di goyang-goyangnya, dengan maksud agar ibunya terbangun. Kaki
ibunya terasa dingin saat tersentuh kulit tangannya.
“Apakah ibu sedang sakit?” pikir Dimo. Melihat ibunya yang tidak kunjung
bangun, membuat Dimo menjadi cemas. Ia semakin kuat menggoyang kaki ibunya
sambil memanggil sang ibu. Mata Dimo mulai berkaca-kaca, secepatnya ia meraih
tangan ibunya. Dirasakannya tidak ada lagi denyut nadi di tangan sang ibu. Mata
Dimo tak lagi mampu membendung air matanya. Dimo menangis sejadi-jadinya sambil
memeluk ibunya yang sudah tidak bernyawa lagi.
“Bu.
. . jangan tinggalin Dimo Bu. . .maafin Dimo Bu. Jangan tinggalin Dimo. . .!” teriak Dimo sambil menggoyang-goyang
jasad ibunya. Tubuh Dimo terasa lumpuh. Kini tidak ada lagi yang menemani
hidupnya. Kedua lilin yang selama ini menemani hidupnya telah padam untuk
selamanya. Kedua lilin tersebut padam terlebih dahulu sebelum Dimo mampu
memberikan tempat yang indah untuk kedua lilin tersebut ketika masih menyala.
Di luar sana, hujan semakin lebat.
Langit seakan ikut menangis menemani Dimo yang terus memeluk tubuh ibunya yang
telah tidur untuk selama-lamanya.
***
Beberapa hari sepeninggal sang Ibu, Dimo
mencari kerja demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Ia menjadi juru parkir
di sekitar jalan Alianyang, tepatnya di depan toko pakaian. Jam kerjanya adalah
mulai dari jam 8 pagi hingga waktu Zuhur.
Sambil menjaga sepeda motor, Dimo duduk
di bawah pohon di dekat gerobak Mas Tris, penjual es cendol di sekitar
tempatnya bekerja.
“Esnya satu, Mas Tris. . . .” ucap Dimo
memesan es cendol.
“Waduh. . . . hari ini panas banget ya Dim. . . .” kata Mas Tris seraya memberikan segelas es cendol kepada Dimo.
“Waduh. . . . hari ini panas banget ya Dim. . . .” kata Mas Tris seraya memberikan segelas es cendol kepada Dimo.
“Iya nih Mas. . . neraka lagi bocor kali ya. . .
. hehe. . . “ jawab Dimo sambil tertawa.
“Hehe. . . . iya kali, gara-gara global warming, sampai-sampai tembus ke
neraka.” sahut Mas Tris sambil membuatkan
pesanan es untuk pria yang menggunakan kemeja bergaris, yang duduk tidak jauh
dari gerobak Mas Tris.
Dimo memperhatikan pria tersebut,
tiba-tiba wajahnya menjadi berseri dan kemudian memanggil pria tersebut.
“Baim! Baim! Kamu Baim kan?” teriak Dimo mendekati pria yang dipanggilnya Baim tersebut.
“Baim! Baim! Kamu Baim kan?” teriak Dimo mendekati pria yang dipanggilnya Baim tersebut.
“Hei. . . . iya, aku Baim. . . ., Kamu. . . . Dimo kan?”
balas Baim sambil menyalami Dimo. Baim adalah teman sekelas Dimo sewaktu masih
di bangku Sekolah Dasar. Setelah tamat, Baim dan keluarganya pindah ke Kota
Pontianak.
Mereka kemudian asyik menceritakan
pengalaman masing-masing. Kadang-kadang Mas Tris juga ikut menimpali.
“Kamu kok belum married Im?” Tanya Dimo
“Kamu kok belum married Im?” Tanya Dimo
“Kamu kan dari dulu paling jago tuh kalau
urusan ngegodain cewek.” lanjut Dimo.
“ Hehe. . . . biarpun jago ngegodain
cewek, tapi kan aku juga punya tipe cewek idaman Dim. Jadi nggak asal-asalan
milih.”
“Nah, kamu sendiri kenapa belum menikah?”
Baim balik bertanya.
“Ah, aku mana jago masalah ngedekatin
cewek.” jawab Dimo.
“Mau aku carikan?” tawar Baim.
“Boleh, janda juga nggak apa-apa, asal
belum menikah” jawab Dimo asal-asalan.
”Hush. . . . mana ada janda yang belum
menikah Dim. .” sahut Mas Tris.
“Eh. . . kamu kerja apaan di Pontianak?”
Tanya Dimo sambil menyusun sepeda motor.
“Aku bekerja di restoran Dim, ya lumayan
lah buat nebelin dompet.” Sahut Baim sambil menyeruput es cendol.
“Kamu nggak berminat ikut aku ke
Pontianak Dim?”
“Gaji kamu bakalan lebih besar daripada jadi juru parkir kayak gini.” lanjut Baim.
“Gaji kamu bakalan lebih besar daripada jadi juru parkir kayak gini.” lanjut Baim.
“Mm. . . .boleh juga tuh.” Jawab Dimo menerima tawaran teman
lamanya itu. Dimo menjadi teringat akan Destri. Sudah lama sekali ia tidak
berkomunikasi dengan Destri, semenjak handphone-nya ia jual untuk melunasi hutang
ibunya.
“Ah Destri, sudah lama banget aku merindukan kamu.” gumam Dimo dalam hati. Kedua temannya
heran melihat Dimo yang senyum-senyum sendiri.
“Kamu kenapa Dim?” Tanya Mas Tris.
“Eh, nggak kenapa-kenapa kok Mas, aku hanya terbayang aja kalau sudah
kerja di Pontianak nanti, tentu banyak uang yang akan aku pegang nanti.”
“Kapan kita ke Pontianak Im?” Tanya Dimo kepada Baim yang sedang
membayar es yang telah dihabiskannya.
“Mmm. . . . kalau besok gimana? kamu bisa
nggak?” Baim balik bertanya.
“Bisa Im, Bisa!“ jawab Dimo dengan wajah sumringah.
“Oke, besok kita berangkat, aku pergi dulu ya Dim” pamit Baim kepada Dimo.
“Oke, besok kita berangkat, aku pergi dulu ya Dim” pamit Baim kepada Dimo.
Dimo
menjadi tidak sabar menanti datangnya hari esok. Bukan karena pekerjaan yang
membuatnya ingin segera pergi ke Pontianak, tetapi karena ia tidak sabar untuk
bertemu dengan pujaan hatinya, sahabat yang dicintainya, Destri.
***
Sekitar pukul 05.30 Dimo dan Baim sudah
berada di terminal Pontianak. Mereka duduk dengan ditemani hiruk pikuk Kota Singkawang,
dan kepulan asap kendaraan. Sambil menunggu datangnya Bis “Angin”, mereka
menikmati masa-masa terakhir di kota itu. Terutama Dimo, ia merasa berat sekali
meninggalkan kota tersebut. Banyak kenangan yang terukir dan sulit untuk
dilupakan begitu saja. Ia merasa tidak akan pernah kembali lagi ke Kota
Singkawang, namun ia segera membuang jauh-jauh pikiran tersebut.
“Dim! Tuh bisnya udah datang!...yuk.”
Mereka segera menyongsong kedatangan bis
berwarna hijau muda itu. Bis tersebut berhenti, Dimo dan Baim masuk dan mencari
tempat duduk yang masih kosong.
Sang surya semakin menampakan sinarnya di ufuk Timur cakrawala, menembus embun pagi
yang mendinginkan bumi. Bis “Angin”
jurusan Bengkayang – Pontianak tersebut kemudian melesat kencang menembus embun yang
belum sepenuhnya membumbung tinggi ke angkasa, membawa Dimo dan Baim beserta
penumpang lainya yang akan menuju Kota Pontianak.
“Eh
Im. . . . Nanti aku tinggal di mana?” Tanya Dimo yang baru menyadari
hal tersebut.
“Tenang aja Dim, untuk sementara waktu
kamu tinggal di rumah kontrakanku dulu, sambil kita cari rumah kontrakan
buat kamu” terang Baim menenangkan kecemasan sahabatnya.
“Tapi kamu nggak merasa direpotkan kan?”
Tanya Dimo sekali lagi seraya menguap.
“Hehe. . . ., ya nggak lah Dim, lagian
kita kan sambil mencari rumah kontrakan buat kamu.” jawab Baim.
Kedua
sahabat itu sudah terserang oleh rasa kantuk. Udara yang dingin mendukung
sekali untuk tidur di bawah naungan atap bis. Sementara bis terus melaju melintasi
jembatan Kapuas, sebuah jembatan yang melintasi sungai terpanjang di Kalimantan Barat tersebut.
***
Sesampainya di
Pontianak, Baim segera memesan ojek untuk mereka berdua.
“Kita nggak jalan kaki aja Im?”
“Haha...Kamu yakin mau jalan kaki?” Baim
balik bertanya kepada Dimo.
“Rumah kontrakanku tuh jauh dari sini
Dim. Pakai kendaraan saja sekitar 10 menit, apalagi kalau jalan kaki, bisa-bisa
nanti malam kita baru sampai.” Lanjutnya
“Oh...Kukira dekat-dekat sini.” Ujar
Dimo sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Ayo naik Dek, kok malah bengong?” Ucap
salah satu tukang ojek yang hendak mengantarkan mereka ke rumah kontrakan Baim.
Teguran tersebut membuat Dimo tersadar dan segera membonceng.
Baim pun memberitahukan alamat rumah kontrakannya
kepada tukang ojek. Kemudian mereka segera menuju alamat tersebut. Benar kata
Baim, sekitar 10 menit mereka baru sampai di pekarangan rumah kontrakan Baim.
Rumah berwarna kuning tersebut sengaja
dibangun memanjang dengan dibagi menjadi beberapa kamar. Ada sekitar lima kamar
dan tampaknya sudah terisi semua, karena disetiap pintu kamar sudah ada
sandal-sandal pemiliknya.
“Kok kamu nggak tinggal di rumah aja Im?”
Tanya Dimo setelah mereka masuk ke rumah Baim.
“Gimana ya...aku Cuma nggak mau aja terganggu
dengan suasana di rumah. Di rumah tuh orang tuaku punya warnet, dan yang pasti
hampir setiap waktu selalu bising.” Terang Baim panjang lebar.
“Iya juga Im...Kalau aku jadi kamu juga
pasti memilih untuk tinggal sendiri, kan lebih mandiri.”
“Oh iya, kamu kapan mau ngajak aku ke
restoran?” Tanya Dimo menyadarkan sahabatnya akan tujuannya ke Pontianak.
“Haha...Jangan khawatir Dim. Bagaimana
kalau nanti malam?”
“Boleh...Ikan sepat ikan gabus lebih
cepat lebih baik.” Ujar Dimo menanggapi pembicaraan Baim.
***
Dalam waktu beberapa bulan, Dimo
akhirnya mendapatkan rumah kontrakan untuk tempat tinggalnya. Rumah tersebut
tidak begitu besar, hanya dua ruangan saja, satu untuk kamar, dan satunya lagi
ruang tamu. Namun bagi Dimo, rumah tersebut sudah cukup luas untuknya. Rumah
yang berada tidak jauh dari jalan raya tersebut terletak di jalan Ahmad Yani.
Dimo
juga bekerja di restoran tempat dimana Baim bekerja. Gajinya lumayan besar, sehingga
Dimo bisa membeli sebuah handphone baru. Ia sengaja memilih untuk membeli handphone telebih dahulu, karena ia tidak sabar
ingin segera menghubungi Destri. Ia pun sudah memiliki sepeda motor lagi, yang
tentu akan lebih mempermudahnya untuk
pergi ke mana-mana.
“Hmm. . . . Akhirnya aku bisa juga mandiri.” ucap Dimo tersenyum, seraya
merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Ia segera mengangkatnya.
“Halo Im. . . Ada apa?”
“Sekarang?”
“Oh . . . iya. . . iya, aku segera ke sana” ternyata Baim mengajak Dimo untuk menikmati malam minggu di kafe, sekalian Baim akan mengenalkan kekasihnya kepada Dimo. Dimo segera meraih jaketnya yang tergantung di balik pintu kamarnya. Tanpa merapikan rambutnya terlebih dahulu, ia pun segera menunggangi “Bison”nya, sepeda motor kreditannya.
“Oh . . . iya. . . iya, aku segera ke sana” ternyata Baim mengajak Dimo untuk menikmati malam minggu di kafe, sekalian Baim akan mengenalkan kekasihnya kepada Dimo. Dimo segera meraih jaketnya yang tergantung di balik pintu kamarnya. Tanpa merapikan rambutnya terlebih dahulu, ia pun segera menunggangi “Bison”nya, sepeda motor kreditannya.
Dalam
waktu singkat, Dimo sudah sampai di kafe yang dimaksud Baim. Ia pun segera
mencari dimana Baim dan kekasihnya duduk. Matanya langsung melihat tubuh kedua
pasangan yang sedang duduk berhadapan. Kekasih Baim duduk menghadap Baim,
sehingga wajahnya tidak terlihat oleh Dimo. Dimo segera melangkah menuju kedua
pasangan tersebut.
“Hai
Im, udah nunggu lama nih?” Tanya Dimo seraya
duduk di samping Baim.
“Nggak juga kok, sekitar 5 jam yang lalu”
jawab Baim bercanda.
Saat mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang ada di hadapannya,
betapa terkejutnya Dimo. Gadis berambut panjang dan berponi itu ternyata
Destri. Wanita yang dicintainya, gadis yang dirindukannya. Kebahagiaan yang ia
bayangkan bila nanti bertemu Destri, berubah menjadi kepedihan. Kini wanita itu
telah menjadi kekasih hati temannya sendiri, yang tentu lebih sempurna
ketimbang dirinya. Ia jadi teringat ucapan ibunya, bahwa dia tidak pantas untuk
Destri cintai, Destri tercipta memang untuk tidak dimilikinya. Dia terlalu
rapuh sebagai ranting untuk menyangga buah cinta dari Destri.
“Destri?”
“Dimo?” ucap Destri pula, hampir bersamaan.
“Dimo?” ucap Destri pula, hampir bersamaan.
“Lho? ternyata kalian sudah saling kenal. .
.” kata Baim seraya memperhatikan wajah keduanya.
“Iya Im, Dimo itu sahabatku sejak SMA dulu”
jelas Destri kepada kekasihnya.
“Kenapa kamu nggak bilang Dim, kalau kamu
punya kenalan disini?” Tanya Baim.
“Hehe. . . . karena aku takut Destri udah
nggak kenal lagi sama aku.” Jawab Dimo mencoba tertawa, meskipun hatinya menangis
darah.
Dimo sebenarnya ingin segera beranjak
dari tempat itu, ia tak sanggup untuk terus berlama-lama disana, hanya semakin menambah
kepedihannya saja.
“Im, Des, aku pulang dulu ya. . . .” ucap
Dimo berpamitan kepada dua belahan jiwa itu.
“Kok cepat banget Dim?” Tanya Baim.
“Aku ngerasa nggak enak badan Im. Kayaknya mau demam.” Jawab Dimo beralasan.
“Ya udah, kalau begitu, kamu istirahat aja
tuh” saran Baim
“Iya Im. . . ya udah, aku duluan ya. . . .” seraya meninggalkan Baim dan Destri.
“Iya Im. . . ya udah, aku duluan ya. . . .” seraya meninggalkan Baim dan Destri.
Destri sebenarnya tahu apa yang terjadi
pada diri Dimo. Ia melihat perubahan pada wajah Dimo saat menatapnya tadi.
Bagaimanapun juga, Dimo adalah orang yang begitu dekat dengannya, dan dia juga yakin kalau Dimo masih
menyimpan rasa cinta untuknya. Destri
menyangsikan kalau Dimo merasa cemburu dan kecewa.
“Dim.
. . . maafin aku. Aku udah sering nyakitin kamu, padahal kamu selalu ada ketika
aku butuhkan. Namun aku hanya bisa ngejadiin kamu sahabat. Jika aku disuruh
memilih siapa pria terakhir untuk pendamping hidupku, maka aku akan memilih kamu
Dim, dan aku akan membalas cinta suci kamu. Namun untuk saat ini, biarlah dulu
cintaku untukmu ku simpan dalam hatiku. Aku juga ingin tahu di mana batas kesetiaan kamu untuk
mencintaiku.” bisik kata hati Destri melepas kepergian sahabatnya.
***
Jam
menunjukkan pukul 23.00, namun mata Destri tidak kunjung terpejam. Ia terus
memikirkan Dimo. Rasa bersalah terhadap sahabatnya itu terus menghantuinya. Tiba-tiba ia berseru
dan wajahnya berseri.
“Besok kan tanggal 2, berarti Dimo ulang
tahun. . . . aku ingin jadi orang pertama yang ngasih ucapan selamat ke dia.”
Saat
jam sudah menunjukkan pukul 00.00, ia mencoba menelepon Dimo. Namun ia kecewa karena handphone Dimo tidak aktif.
“Ah Dimo berarti udah tidur. Atau jangan-jangan Dimo beneran sakit. . .?” Tanya Destri kepada dirinya sendiri.
“Ah Dimo berarti udah tidur. Atau jangan-jangan Dimo beneran sakit. . .?” Tanya Destri kepada dirinya sendiri.
“Mending besok aku samperin aja ke
rumahnya, sekalian aku ngasih kado sebagai tanda maaf ku ke Dimo.”
Destri tersenyum membayangkan Dimo yang
bahagia menerima kado darinya besok.
***
Mentari kembali hadir menemani para
embun pagi, kabut pagi seakan masih enggan untuk berpaling dari Kota Bersinar
tersebut.
“Hmm...ini kayaknya lebih pantas buat
Dimo.” Kata Destri bergumam sendiri.
Ia pun segera mengambil switter berwarna abu-abu, dan kemudian
memberikannya ke kasir.
“Mbak..sekalian dibungkusin ya...” Ucap
Destri.
“Iya Mbak. Kadonya mau dikasih pita atau
nggak?” Tanya kasir yang hendak membungkus kado Destri.
“Mm, dikasih aja Mbak, biar tambah
menarik.” Jawab Destri sambil duduk di kursi sambil menunggu switter tersebut dibungkus. Ia mencoba
menelpon kembali. Namun masih seperti tadi malam, handphone Dimo masih belum aktif.
“Ini Mbak kadonya...”
“Oh...Semuanya berapa Mbak?” Tanya
Destri.
Kasir tersebut menyebutkan jumlah rupiah
yang harus Destri bayar. Destri pun segera mengambil beberapa lembar uang di
dalam dompet pink-nya.
Sesudahnya, Destri segera menuju jalan
Ahmad Yani. Ia pun akhirnya sampai juga di depan rumah kecil tempat kediaman
Dimo. Rumah tersebut sangat mungil, dihiasi perpaduan cat warna biru tua dan
biru muda, di depannya tampak beberapa tanaman bougenville.
Destri melangkah mendekati pintu rumah
Dimo sambil membawa kado yang telah dia siapkan untuk Dimo. Pintu rumah Dimo masih
tampak tertutup rapat, sepertinya penghuni rumahnya masih tidur.
“Assalamu’alaikum...”
Tidak ada jawaban.
“Assalamu’alaikum...” Ulangnya sekali
lagi. Namun tetap tidak ada jawaban.
“Jangan-jangan alamat dari Baim ini
salah. Ah, tapi masa sih dia tega ngebohongin aku.” Gumam Destri memandangi
kertas yang berisi alamat rumah Dimo.
“Dim! Kamu ada di dalam kan?”
Destri meninggikan nada suaranya.
“Apakah Dimo marah banget ya sama aku,
sampai-sampai dia nggak mau ngebukain pintu buat aku.” Pikir Destri.
Ia pun memberanikan diri untuk membuka pintunya.
Tidak ada kesulitan untuk membukanya, karena pintu tersebut tidak dikunci.
Destri pun melangkahkan kakinya masuk ke rumah Dimo. Alangkah kagetnya ia saat
melihat suasana di dalam. Badannya menjadi gemetar, dadanya bergemuruh,
wajahnya menjadi pucat pasi, dan kado yang dipegangnya pun terjatuh. Bagaimana
tidak, orang yang akan ditemuinya, sahabat yang selama ini setia menemaninya
telah tergantung tak bernyawa di ruang tamu tersebut.
“Dimo...!” Destri berteriak histeris.
“Dimo...kenapa kamu tega ngelakuin ini
Dim? Kenapa kamu tega mengakhiri hidupmu dengan cara kayak gini Dim?” Teriak
Destri sambil memegangi kaki Dimo. Ia merasa telah kehilangan sesuatu yang
sangat berharga dalam hidupnya. Sahabat yang selalu ada untuknya, yang selalu
memberi solusi jika ia ada masalah, yang selalu menghiburnya jika ia bersedih,
dan sahabat yang selalu mendampinginya dalam kondisi apapun, kini telah pergi
meninggalkannya dengan cara yang mengenaskan.
“Dim...kenapa kamu ngelakuin tindakan
bodoh ini? Bukankah kamu pernah bilang kalau bunuh diri itu dosa Dim? Kamu
jahat Dim! Kamu tega ninggalin aku, sahabat kamu sendiri! Dimo jangan tinggalin
aku! Kalau kamu hidup lagi, aku akan membuat kamu bahagia, aku akan mencintai
kamu Dim! Dim, kembali lah, aku mohon.”
Namun orang yang diajaknya bicara tetap
tidak bergeming sedikitpun. Pengelihatan Destri semakin lama semakin terasa
gelap. Ia akhirnya tak sadarkan diri di bawah kaki Dimo yang menggantung. Air
mata Destri terus mengalir membanjiri rumah Dimo, air mata perpisahan dua
sahabat yang begitu dekat. Andai Dimo dapat hidup kembali, tentu ia akan
bahagia mendengar penuturan Destri. Namun apa daya semua telah terlambat, Dimo
tidak akan pernah merasakan kebahagiaan memiliki kekasih seperti Destri. Ia lebih
memilih tersiksa di alam sana ketimbang tersiksa menanggung cinta yang tak
kunjung terbalaskan.
***
“Des, Mama ke kantor dulu ya...” Ucap
mamanya dari balik pintu.
“Iya Ma...hati-hati ya.” Jawab Destri
singkat seraya bangkit dari tempat tidurnya. Ia mengalihkan pandangannya ke
foto yang terletak di atas meja belajarnya. Wajah seorang sahabat terbaiknya
yang kini tidur lelap dengan damai.
Satu tahun sudah kepergian Dimo. Ia
pergi bukan untuk sementara atau beberapa hari saja, namun untuk selamanya. Hari
ini sebenarnya adalah hari ulang tahun Dimo yang ke-20, namun kini ia tidak
bisa lagi menikmati hari ulang tahunnya.
Destri segera memasukkan foto Dimo ke
dalam laci, dan ia beralih mengambil secarik kertas yang sudah tampak kusam.
Dengan hati-hati ia membukanya dan membaca dalam hati.
Untuk
wanita yang kucinta sepanjang masa.
Destri, sebagaimana yang kamu ketahui
tentang perasaanku ke kamu, bahwa begitu cinta dan sayangnya aku sama kamu. Aku
kadang membayangkan betapa indah hidup ini jika aku bisa selamanya berdampingan
sama kamu. Namun, harapan itu hanyalah sekadar harapan saja. Kenyataannya kita
tidak pernah bisa bersama. Aku hanya bisa menjadi sahabat kamu, sahabat
selamanya. Betul kata orang kalau burung pipit tidak akan pernah berdampingan
dengan merpati. Aku hanyalah pipit yang kecil dan hina di depan mata kamu,
sedangkan kamu merpati yang senantiasa dipuja-puja.
Destri, aku pergi dengan cara ini karena
aku udah nggak sanggup lagi menjalani hidup ini dan karena cintaku selama ini
yang tidak pernah menemukan titik kebahagiaan. Biarlah cinta kasihku untukmu
terkubur bersama terkuburnya jasadku nanti. Kamu emang nggak tercipta buat aku.
Aku nggak akan pernah bisa pantas untuk mendampingi kebahagiaan kamu, dan aku
yakin kamu pasti akan lebih bahagia bila aku udah nggak ada, pergi untuk
selamanya menyusul kedua orangtuaku. Aku berharap kamu akan tersenyum melepas
kepergianku. Jangan teteskan air mata kamu untuk melepas kepergianku, nggak
pantas kamu nangisin sahabat kamu yang hina ini, kamu nggak pantas bersedih
untuk orang yang nggak pernah kamu cintai. Simpan air mata kamu untuk menangisi
kebahagiaanmu pada saat menemukan cinta sejati nanti.
Destri, aku harap kamu hapus semua
kenangan tentang aku. Kenangan itu hanya akan mengganggu pikiran kamu saja.
Jangan pernah ingat-ingat diriku lagi. Aku akan mencoba bahagia bila kamu bahagia
dengan laki-laki lain, meski di dalam hatiku berlumur duka.
Destri, pesanku untuk kamu, jangan
pernah kamu sia-siakan orang yang tulus mencintai kamu. Karena kamu bakalan
menyesal saat dia pergi untuk selamanya, karena disaat itulah kamu akan menyadari
betapa tulusnya dia mencintai kamu.
Sekian
dari aku Des, semoga kamu bahagia dengan hidup kamu, bersama laki-laki yang
sempurna. Biarlah aku tenang di sini memendam rasa cintaku, cintaku yang lara.
Yang penuh luka
DIMO
Untuk kesekian
kalinya Destri menangis membaca goresan tinta terakhir dari sahabatnya. Sebuah
rangkaian kata-kata yang menyadarkan ia bahwa begitu cintanya Dimo terhadap
dirinya. Namun kini orang yang begitu mencintainya tersebut telah tiada, dan
takkan mungkin lagi mengharapkan cintanya, dan tentu mereka tak akan pernah
bersatu apalagi hidup bersama, kecuali bila Tuhan berkehendak untuk menyatukan
mereka di alam sana.
“Selamat ulang tahun Dimo...Semoga kamu
bisa tenang dan bahagia di sana...” Ucap Destri dengan diiringi butiran-butiran
air mata yang terus mengalir dari mata indahnya.
***TAMAT***
(Singkawang, Minggu, 1 Juli 2012:09.55)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar