Disusun Oleh : Aan Franata, Elsa Lestari, Noverita, Oktavia Novi
Prespektif dalam
produksi bahasa ternyata tidak hanya dapat diamati keberadaannya dalam struktur
wacana tetapi dapat juga diamati dalam struktur yang lebih rendah dari wacana.
Prespektif suatu ideologi dipengaruhi secara sistematis pada pemilihan
bentuk-bentuk ekspresi lingusitik baik pada tatanan leksikal (kosakata), sintaksis (kalimat) dan wacana seperti
pemakaian kosakata, system ketransitifan, struktur nominalisasi, modalitas,
tindak tutur, metafora dan struktur informasi.
a.
Kosakata
Pemakaian kosakata bukan semata persoalan teknis tetapi sebagai
praktik ideologi. Pilihan kata dalam suatu
teks menandai secara sosial dan ideologis bidang pengalaman yang berbada
dari penulisnya baik berupa nilai eksperiental, nilai relasional dan nilai
ekspresif. Nilai eksperiental berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan yang dibawakan oleh kata-kata tersebut. Nilai
rasional berkaitan dengan
hubungan-hubungan sosial yang tercipta oleh kata tersebut. Nilai
ekspresif berkaitan dengan pemilihan atau evaluasi tentang sesuatu yang
dicerminkan oleh kata tersebut. Perkosaan dapat dimaknai “memperkosa, meniduri, menindih, menggagahi, menodai, memerawani, dst.”
Pembunuhan dapat diganti dengan “digebug”, “dilibas”, “diamankan” dan
“disukabumikan”.
b.
Sistem Ketransitifan
Menurut Fowler bahasa dipandang sebagai model yang menghubungkan
antara objek dan peristiwa. Terdapat tiga model transitifitas yaitu transitif, intransitif dan relasional. Dalam model transitif
berhubungan dengan proses melihat suatu tindakan dan bagian-bagian lain sebagai
akibat suatu tindakan. “Polisi memukul
mahasiswa” adalah bentuk transitif. Polisi sebagai aktor yang menyebabkan
suatu tindakan melakukan sesuatu “memukul”. Model intransitif seorang aktor dihubungkan dengan suatu
proses tetapi tanppa menjelaskan atau menggambarkan akibat atau
objek yang dikenai. “Polisi menembak”,
“Polisi mengamankan”. Sedangkan model
relasional menggambarkan sama-sama kata benda. “Korban polisi itu adalah seorang ayah dari seorang balita.”
Hubungan juga bersifat atributi,
benda dihubungkan dengan kata sifat
untuk menunjukkan kualitas atau penilaian tertentu misalnya “Polisi itu sangat garang”
Bentuk transitif memasukkan suatu pandangan dan sikap penulis yang
berbeda tentang peristiwa yang dilaporkan. Berikut disajikan klausa yang
memiliki berbagai prespektif.
(1) Polisi menembak mati
enam demonstran.
(2) Enam demonstran ditembak
mati.
(3) Enam demonstran tewas.
(4) “Enam demonstran ditembak
mati.” Ujar saksi mata.
(5) Saksi mata melihat enam demosntran mati tertembak.
(6) Enam mahasiswa yang tewas itu diantaranya Elang Mulya, Lesmana,
Hendriawan Sie dan Hafidin R.
c.
Struktur Nominalisasi
Nominalisasi adalah transformasi sintaksis secara radikal dalam
suatu klausa yang memiliki konsekuensi struktural yang luas dan memberikan
kesempatan menyampaikan ideologi. Dalam bahasa Indonesia predikat verba
direalisasikan secara sintaksis menjadi nomina. Salah satunya dilakukan dengan
memberi imbuhan “pe-an”. Kata memperkosa menjadi perkosaan, membunuh menjadi
pembunuhan, menembak menjadi penembakan. Contoh berikut ini memiliki prespektif
berbeda;
(7) Seorang ayah memperkosa
anak gadisnya sendiri yang berusia 12 tahun.
(8) Perkosaan memimpa anak
gadis yang baru berumur 12 tahun.
(9) Polisi menembak secara
membabi-buta dalam insiden Semanggi.
(10) Penembakan secara
membabi-buta terjadi dalam insiden Semanggi.
d.
Modalitas
Modalitas diartikan sebagai komentar atau sikap yang berasal dari
teks, baik eksplisit atau implisit diberikan oleh penulis terhadap apa yang
dilaporkan, yakni keadaan, peristiwa dan tindakan. Modalitas memiliki peluang
besar untuk digunakan jurnalis dalam membangun prespektif pemberitaan yang
mempengaruhi opini pembaca. Dengan modalitas, penulis dapat memasukkan
pandangan pribadi atau institusinya ke dalam proposisi yang ditulisnya melalui
pilihan modalitas. Modalitas sebagai komentar atau sikap penulis yang tertuang
dalam teks dibagi menjadi empat yaitu (1) kebenaran, (2) keharusan, (3) izin,
(4) keinginan. Contoh berikut modalitas yang menyiratkan prespektif
pemberitaan.
(11) Tommy Soeharto harus
ditangkap.
(12) Tommy Soeharto seharusnya
ditangkap.
(13) Tommy Soeharto bisa
ditangkap.
(14) Tommy Soeharto mungkin
ditangkap.
(15) Tommy Soeharto tidak akan
tertangkap.
(16) Tindakan penangkapan Tommy Soeharto dinilai sangat tepat.
Pemakaain modalitas
harus, seharusnya dan sangat tepat
pada (11), (12) dan (16) menunjukkan dukungan tindakan yang tercermin dalam
proposisi, sementara (13) dan (14) memperlihatkan sikap netral bila
dibandingkan dengan (11), (12) dan (16).
e.
Tindak Tutur
Bentuk ekspresi bahasa yang dapat digunakan untuk menunjukkan
perbedaan prespektif adalah elemen-elemen interpersonal seperti tindak tutur
(speech acts). Pandangan yang melandasi tindak tutur, jika orang mengatakan
sesuatu, orang akan melakukan sesuatu untuk tuturan itu. Hal itu merupakan
aspek dalam fungsi interpersonal bahasa. Contoh berikut dapat menjelaskan
tindak tutur yang dapat menimbulkan prespektif berbeda;
(17) Ada unjuk rasa.
(18) Kongres Umat Islam merekomendasikan presiden dan wapres
mendatang harus pria, beriman dan bertaqwa (Jawa Pos, 7/11/8).
Pada tuturan (17)
dituturkan oleh seorang polisi, tidak sekedar menginformasikan sesuatu, tetapi
juga berfungsi sebagai perintah ke lokasi untuk pengamanan. Hal itu berbeda
maknanya jika dituturkan oleh mahasiswa di kampus, ujaran itu bukan informasi
tetapi ajakan. Demikian pula dalam (18) , bagi mereka yang mengikuti pasca
Pemilu 1999, maka dengan cepat dapat menangkap bahwa ilokusi yang tersirat yang
menghambat Megawati Soekarno Putri maju menjadi presiden.
f.
Metafora
Menurut Aristoteles seperti yang dikutib Abdul Wahab, metafora
merupakan ungkapan kebahasaan yang menyatakan ungkapan kebahasaan yang
menyatakan hal-hal yang bersifat umum untuk hal-hal yang bersifat khusus dan
sebaliknya. Metafora digunakan sebagai ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak
bisa dijangkau secara langsung dari lambang karena makna yang dimaksud terdapat
pada predikasi ungkapan kebahasaan itu. Artinya metafora merupakan pemahaman
pengalaman sejenis hal yang dimaksudkan untuk perihal lain. Metafora digunakan
jurnalis untuk membangun prepektif dalam surat kabar. Berikut adalah contoh
metafora yang dapat menimbulkan prespektif berbeda.
(19) Gelombang mahasiswa
mendatangi gedung DPR Senayan mendesak agar anggota dewan ikut mengusut 4
mahasiswa yang ditembak di Univeristas Trisakti.
(20) Ibarat pemain sepak bola,saat ini penyelesaian hutang PT Garuda
Indonesia sudah memasuki injury time,
tinggal menunggu peluit panjang.
Mataforik gelombang
untuk menggambatkan laut yang bergulung-gulung dan menakutkan.Metaforik injury time menggambarkan sedikit waktu
PT Garuda Indonesia untuk melunasi
hutang.
(21) Debitor nakal perlu dicekal
(22) Amin, Gus Dur,Hamzah dan Nur Mahmudi bertemu, mereka bahas
“buah simalakama” Mega.
Kata nakal dalam
(21) memiliki adanya tiga kesamaan sifat nakal yaitu (1) masih kanak-kanak
sehingga kurang mampu membedakan mana yang benar dan yang salah, (2) sudah tahu
aturan yang sudah disepakati tetapi tetap saja melanggar, (3) sudah dinasihati
tetapi tidak memperbaiki. Demikian dengan “buah simalakama”, jika Megawati
terpilih menjadi presiden keadaan belum tentu bertambah baik.Sebaliknya jika
Megawati tidak terpilih akan berpotensi buruk bagi partai berbasis massa Islam
perempuan memang tidak diijinkan menjadi pemimpin.
Kita perlu memahami
praktik diskursif dari komunitas pemakai bahasa yang disebut sebagai order of discourse. Ketika menganalisis
teks berita sebelum dimensi tersebut dianalisis perlu melihat dulu order of discourse, apakah bentuknya hardnews, features, artikel atau editorial. Hal ini akan membantu
peneliti untuk memaknai teks,produksi teks, dan konteks sosial dari teks yang
dihasilkan. Order of discourse secara sederhana seperti layaknya pakaian;
pakaian di kantor berbeda dengan pakaian tidur dan pakaian renang. Pemakaian
bahasa menyesuaikan dengan praktis diskursif di tempat mana ia berada, ia tidak
bebas memakai bahasa.
g.
Struktur Informasi
Pengaturan struktur informasi atau organisasi isi proposisi dalam
kalimat atas informasi latar dan informasi baru dapat dipergunakan menandai
prespektif pemberitaan. Prespektif pemberitaan akan terlihat dari pemilihan
bagian proposisi tertentu sebagai informasi baru dan bagian proposisi lain
sebagai informasi latar. Berikut contoh fenomena pengaturan informasi.
(23) Sebelum bentrok seharusnya sempat dilakuakn negosiasi dengan
tawaran 50 wakil PRD berdialog dengan KPU di ruang sidang dengan catatan yang
lain menunggu di jalan.
(24) Sebelum terjadi bentrokan, aparat keamanan yang menjaga pintu
masuk kantor KPU di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat sempat membiarkan
pengunjuk rasa dengan atribut PRD lengkap di sekujur tubuh mereka membawakan
orasi 50 menit.
Kedua proposisi di
atas menginformasikan tentang bentrokan antara PRD dengan aparat kepolisian di
KPU. Perbedaan itu tampak dalam proposisi pengisi informasi latar baru. Jika
disederhanakan struktur proposisi kedua data adalah sebagai berikut;
(23a) Bentrok PRD dan polisi—negosiasi
PRD dan polisi, 50 perwakilan PRD bertemu wakil KPU—bentrok PRD dan polisi
28 luka-luka.
(24a) Bentrok PRD dan polisi—PRD dibiarkan polisi berorasi 50
menit—aparat keamanan membubarkan orasi PRD—bentrok polisi dengan PRD 28
luka-luka.
Pada kedua data
tersebut yang ditulis dengan huruf miring adalah data informasi baru dan yang
ditulis dengan huruf tegak adalah informasi latar. Untuk mendukung analisi isi,
berikut disajikan kalimat yang mendahului kedua kalimat tersebut.
(25) Pengamat kepolisian Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. menyataka
insiden penembakan PRD oleh aparat keamanan justru bertepatan dengan peringatan
hari Bhayangkara makin memperburuk momentum tersebut.
(26) Demontrasi fanatic sekitar 500 massa Partai Rakyat Demokratik
(PRD) di depan Gedung KPU, kemarin berubah berdarah.
Dari struktur
proposisi pada data (23) dan konteks data sebelumnya (25) terlihat bahwa
proposisi Demo PRD merupakan informasi latar. Kedua informasi itu dapat
ditemukan rujukannya dalam data (25)
yakni penembakan massa PRD pada hari Bhayangkara makin memperburuk citra
polisi. Sementara itu, proposisi demonstrasi fanatik sekira 500 massa PRD
berubah berdarah. Proposisi pengisi informasi latar baru dapat dilihat dalam
tabel berikut;
Data
|
Informasi
Latar
|
Informasi
Baru
|
23
|
Bentrok di KPU
antara PRD dan Polisi
|
Negosiasi 50 perwakilan
PRD berdialog dengan KPU
|
24
|
Bentrok di KPU
antara PRD dan Polisi
|
Polisi membiarkan PRD
berorasi 50 menit
|
Dari tabel tersebut
dapat disimpulkan bahwa proposisi yang mengisi informasi latar sama yaitu Bentrok
di KPU antara PRD dan Polisi, namun informasi baru yang dimunculkan oleh
wartawan berbeda yaitu Negosiasi 50
perwakilan PRD berdialog dengan KPU (Suara Pembaruan) dan Polisi membiarkan PRD
berorasi 50 menit (Media Indonesia).
Berdasarkan
struktur dan konteks kedua data serta pra-anggapan masing-masing pengisi
informasi latar dan informasi baru disimpulkan bahwa surat kabar Suara
Pembaruan pro masyarakat. Seharusnya polisi tidak perlu bentrok dengan PRD,
apalagi dengan menembak, menendang, memukul dan menginjak-injak.
B.
Hermeneutika
Akar permulaan hermenēuein dan hermēnia bisa ditemukan dalam Organon,
Peri hermēneias karya Aristoteles, yang diterjemahkan dengan “On Interpretation.” Kata ini juga
ditemukan dalam Oedipus at Colunus karya Plato, juga beberapa karya lainnya
dari penulis awal yang terkenal seperti
Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius dan Longinus.
Dalam Organon, Peri hermēneias dipaparkan kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari
sebuah pengalaman mental dan kata-kata yang ditulis adalah simbol dari
kata-kata yang diucapkan. Tulisan ini dipercaya menjadi titik tolak bagi
dimulainya pembahasan hermeneutika di era klasik.
Ada dua dimensi
besar dalam hermeneutik yaitu hermeneutika intensionalisme dan hermeneutika
gadamerian. Intenasionalisme diawali sejak hermeneutika romantis dengan
tokohnya Schleiermacher. Pokok pikiran hermeneutika intensional ini adalah
bahwa makna adalah maksud atau instensi prosedurnya. Dengan kata lain, makna
kata sesungguhnya telah ada di balik kata itu sendiri. Makna telah menanti dan
tinggal ditemukan oleh penafsirnya dan itu adalah tugas pembaca untuk
mencarinya.
Menurut
hermeneutika intensionalisme, makna adalah niat atau kemauan yang diwujudkan
dalam suatu tindak atau produknya seperti teks misalnya sehingga makna sudah ada dan hanya akan keluar jika
diinterpretasikan. Pengertian ini didasarkan pada arti “makna” (meinen) yang
menunjukkan arti bahwa makna suatu teks, tindak, hubungan dan seterusnya adalah
sesuatu yang ada dalam pikiran produsen yang kemudian dikeluarkan melalui suatu
tindak seperti memproduk teks. Dengan kata lain makna telah ada dan menanti
untuk dipahami. Makna hanya berasal dari aktifitas produsen teks, bukan dari
aktivitas orang lain, termasuk aktivitas interpretasi penafsir. Dengan kata
lain, pembaca atau penafsir harus memahami teks yang ia baca dan pembaca atau
penafsir dapat menangkap konsepsi pengarang mengenai fakta situasinya,
keyakinan dan keinginannya, namun dengan catatan penafsir harus menemukan
alasan pelaku bersikap seperti yang diperlihatkan.
Sedangkan
hermeneutika gadamerian dengan tokohnya Hans-Georg Gadamer memberikan definisi
berbeda tentang makna. Makna dalam hermeneutika gadamerian bukan terletak pada
instensi prosedurnya, melainkan pembacanya itu sendiri. Makna itu belum ada
ketika sebuah kata diucapkan atau ditulis dan segera muncul ketika kata itu
didengarkan atau dibaca.
Konsep ini
menemukan titik kulminasinya pada Gadamer yang menyatakan bahwa sekali teks
hadir di ruang publik, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri. Hermeneutika
tidak lagi bertugas menyingkap makna objektif yang dikehendaki pengarangnya,
tetapi adalah untuk memproduksi makna yang seluruhnya memusat pada kondisi
historitas dan sosialitas pembaca. Gagasan ini dengan sendirinya menyangkal origin. Dengan kata lain ia menolak
suatu realitas di balik fenomena, realitas sumber, realitas terakhir. Dengan
demikian, untuk memperoleh makna sebuah kata, kalimat atau teks diperlukan lagi
maksud original-nya.
Hermeneutika secara
etimologis berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermenēuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, kata
benda hermēnia diterjemahkan penafsiran atau interpretasi. Kedua kata ini
diasosiasikan pada Dewa Hermes seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan
pesan Jupiter kepada manusia. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani
misi menyampaikan pesan sang dewa.
Dalam mediasi dan
proses penyampaian pesan yang ditugaskan pada Hermes dari kata kerja hermenēuein ditarik tiga bentuk makna
dasar dalam pengertian aslinya yaitu to express (mengungkapkan), to assert
(menjelaskan) dan to say (menyatakan). Oleh karenanya interpretasi mengacu
ketiga persoalan berbeda yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal dan
penerjemahan dari bahasa lain.
Berhasil atau
tidaknya misi tergantung cara bagaimana pesan itu disampaikan. Indikasi
keberhasilan manusia yang awalnya tidak tahu menjadi mengetahui makna pesan
yang disampaikan. Tugas menyampaikan pesan ini juga berarti haraus
mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat ditangkap intelegensia
manusia. Dari sini kemudian pengertian kata hermeneutika
memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.
Kehadiran
hermeneutika dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam analisis Werner ada tiga
sebab yang paling mendominasi pengaruh terhadap pembentukan hermeneutika dari
masa interpretasi bible sangat ini. Ketiga yang dimaksud Werner tersebut yaitu
(1) masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani; (2) masyarakat Yahudi dan
Kristen yang mengalami masalah dengan teks kitab suci agama mereka; (3)
masyarakat Eropa zaman pencerahan yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan
dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.
C.
Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik
adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam
menulis berita disebut juga bahasa komunikasi massa (Language of Mass
Communication, disebut pula Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan
dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media
elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak), dengan ciri
khas singkat, padat, dan mudah dipahami.
Marshall McLuhan sebagai penggagas teori “Medium is the message”
menyatakan bahwa setiap media mempunyai tatabahasanya sendiri yakni seperangkat
peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya
dengan penggunaan media. Setiap tata bahasa media memiliki kecenderungan (bias)
pada alat indra tertentu. Oleh karenanya media mempunyai pengaruh yang berbeda pada
perilaku manusia yang menggunakannya (Rakhmat, 1996: 248).
Secara lebih seksama bahasa jurnalistik dapat dibedakan pula
berdasarkan bentuknya menurut media menjadi bahasa jurnalistik media cetak,
bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik
media online internet. Bahasa jurnalistik media cetak, misalnya, kecuali harus
mematuhi kaidah umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri yang sangat
khusus yang membedakannya dari bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik TV,
dan bahasa jurnalistik media online internet.
Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua
bentuk media berkala tersebut. yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas,
jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata
tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata. (diksi) yang tepat,
mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan kata atau
istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika (Sumadiria, 2005:53-61).
Berikut perincian penjelasannya.
1. Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau. kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau. kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.
2. Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekuensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekuensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.
3. Padat
Menurut. Patmono, SK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kalimat yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
Menurut. Patmono, SK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kalimat yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
4. Lugas
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
5. Jelas
Jelas berarti mudah
ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam adalah warna
yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan,
maka terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut
putih. Pada kedua warna itu sama sekali tidak ditemukan nuansa warna
abu-abu. Perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di
sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya
sesuai dengan kaidah subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK), jelas
sasaran atau maksudnya.
6.Jernih
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan, kita hanya dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium dengan air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila dimasukkan ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh. Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan publik. Dalam bahasa kiai, jernih berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola pikir positif (positive thinking) dan menolak pola pikir negatif (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang. Pers atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik.
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan, kita hanya dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium dengan air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila dimasukkan ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh. Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan publik. Dalam bahasa kiai, jernih berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola pikir positif (positive thinking) dan menolak pola pikir negatif (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang. Pers atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik.
7. Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku. Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada memunculkan semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut seniman.
Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku. Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada memunculkan semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut seniman.
Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.
8. Demokratis
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga sama sekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan kraton. Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan pengemis dan pemulung secara sama. Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan pengemis keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar, karikatur, atau teks foto. Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum sehingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, karena bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis sebagai contoh presiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga sama sekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan kraton. Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan pengemis dan pemulung secara sama. Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan pengemis keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar, karikatur, atau teks foto. Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum sehingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, karena bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis sebagai contoh presiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.
9. Populis
Populis berarti
setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya
jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak
pembaca, pendengar, atau pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat artinya
diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai
seorang presiden, para pembantu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat dharma
wanita. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa yang elitis adalah bahasa
yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja, terutama mereka
yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
10. Logis
Logis berarti
apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraf
jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat
(common sense). Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus
mencerminkan nalar di sini berlaku hukum logis. Sebagai contoh, apakah logis
kalau dalam berita dikatakan: jumlah korban tewas dalam musibah longsor dan
banjir bandang itu 225 orang namun sampai berita ini diturunkan belum juga
melapor. Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana mungkin korban
yang sudah tewas, bisa melapor?
Menurut salah seorang wartawan senior Kompas dalam bukunya yang mengupas masalah kalimat jumalistik, dengan berbekal kemampuan menggunakan logika (silogisme), seorang wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan, fakta, persoalan, ataupun pernyataan seorang sumber berita. Ia akan lebih kritis, tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang mengemukakan peryataan atau keterangan dengan motif-motif tertentu (Dewabrata, 2004:76).
Menurut salah seorang wartawan senior Kompas dalam bukunya yang mengupas masalah kalimat jumalistik, dengan berbekal kemampuan menggunakan logika (silogisme), seorang wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan, fakta, persoalan, ataupun pernyataan seorang sumber berita. Ia akan lebih kritis, tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang mengemukakan peryataan atau keterangan dengan motif-motif tertentu (Dewabrata, 2004:76).
11. Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik non baku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik non baku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.
12. Menghindari kata tutur
Kata tutur ialah
kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata
tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal,
bus kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah
apa saja sejauh pihak yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata
tutur ialah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak
memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang,
bilangin, bikin, dikasih tahu, mangkanya, sopir, jontor, kelar,
semangkin.
13. Menghindari kata dan istilah asing
Berita ditulis
untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan makna
setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak
diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga
membingungkan. Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonim dan
heterogen tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai
suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan
tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau
istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan, sama
saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan kecuali menyiksa diri
sendiri, juga mencelakakan orang lain.
14.
Pilihan kata (diksi) yang tepat
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat
yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari
asas efektivitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat
sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khlayak. Pilihan
kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai varian
dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada
pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak. Pilihan kata
atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan
akibat fatal. Seperti ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, pengertian
pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan
kata itu. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang
dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi
persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan
kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara
yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi
bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau
yang memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).
15. Mengutamakan kalimat aktif
Kalimat aktif lebih
mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif.
Sebagai contoh presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presiden.Contoh lain,
pencuri mengambil perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan
diambilnya perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa
jurnalistik harus.jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear and strong).
Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat
pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.
16. Menghindari kata atau istilah teknis
Karena ditujukan
untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan
dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut.
Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah
teknis. Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau
komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut
perspektif filsafat bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen
kecuali tidak efelitf, juga mengandung unsur pemerkosaan.
Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah dipahami maksudnya, maka istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda kurung. Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu : (1) kurang melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas, (2) tidak memiliki editor bahasa, (3) tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.
Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah dipahami maksudnya, maka istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda kurung. Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu : (1) kurang melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas, (2) tidak memiliki editor bahasa, (3) tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.
17.
Tunduk kepada kaidah etika
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to
educated), Fungsi ini bukan saja harus, tercermin pada materi isi berita,
laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya, melainkan juga harus tampak pada
bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika bahasa tidak saja mencerminkan pikiran
tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu dalam menjalankan fungsinya
mendidik khalayak, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika
bahasa baku. Bahasa pers harus baku, benar, dan baik. Dalam etika berbahasa,
pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, vulgar, sumpah serapah,
hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama. Pers juga
tidak boleh menggunakan kata-kata porno dan berselera rendah lainnya dengan
maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca. Pers
berkualitas senantiasa menjaga reputasi dan wibawa martabatnya di mata
masyarakat, antara lain dengan senantiasa menghindari penggunaan kata-kata atau
istilah yang dapat diasumsikan tidak sopan, vulgar, atau mengumbar selera rendah.
Kata-kata vulgar, kata-kata yang menjurus pornografi, biasanya lebih banyak
ditemukan pada pers popular lapis bawah dan pers kuning (Sumadiria,2005:
53-61).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar