Senin, 29 Desember 2014

ANALISIS TEKS MEDIA BERDASARKAN TEORI SEMANTIK DAN HERMENEUTIKA



Disusun Oleh : Aan Franata, Elsa Lestari, Noverita, Oktavia Novi


            Prespektif dalam produksi bahasa ternyata tidak hanya dapat diamati keberadaannya dalam struktur wacana tetapi dapat juga diamati dalam struktur yang lebih rendah dari wacana. Prespektif suatu ideologi dipengaruhi secara sistematis pada pemilihan bentuk-bentuk ekspresi lingusitik baik pada tatanan leksikal (kosakata),  sintaksis (kalimat) dan wacana seperti pemakaian kosakata, system ketransitifan, struktur nominalisasi, modalitas, tindak tutur, metafora dan struktur informasi.
a.       Kosakata
Pemakaian kosakata bukan semata persoalan teknis tetapi sebagai praktik ideologi. Pilihan kata dalam suatu  teks menandai secara sosial dan ideologis bidang pengalaman yang berbada dari penulisnya baik berupa nilai eksperiental, nilai relasional dan nilai ekspresif. Nilai eksperiental berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan  yang dibawakan oleh kata-kata tersebut. Nilai rasional berkaitan dengan  hubungan-hubungan sosial yang tercipta oleh kata tersebut. Nilai ekspresif berkaitan dengan pemilihan atau evaluasi tentang sesuatu yang dicerminkan oleh kata tersebut. Perkosaan dapat dimaknai “memperkosa, meniduri, menindih, menggagahi, menodai, memerawani, dst.” Pembunuhan dapat diganti dengan “digebug”, “dilibas”, “diamankan” dan “disukabumikan”.
b.      Sistem Ketransitifan
Menurut Fowler bahasa dipandang sebagai model yang menghubungkan antara objek dan peristiwa. Terdapat tiga model transitifitas yaitu transitif, intransitif dan relasional. Dalam model transitif berhubungan dengan proses melihat suatu tindakan dan bagian-bagian lain sebagai akibat suatu tindakan. “Polisi memukul mahasiswa” adalah bentuk transitif. Polisi sebagai aktor yang menyebabkan suatu tindakan melakukan sesuatu “memukul”. Model intransitif  seorang aktor dihubungkan dengan suatu


proses tetapi tanppa menjelaskan atau menggambarkan akibat atau objek yang dikenai. “Polisi menembak”, “Polisi mengamankan”. Sedangkan model relasional menggambarkan sama-sama kata benda. “Korban polisi itu adalah seorang ayah dari seorang balita.” Hubungan juga bersifat atributi, benda dihubungkan  dengan kata sifat untuk menunjukkan kualitas atau penilaian tertentu misalnya “Polisi itu sangat garang
Bentuk transitif memasukkan suatu pandangan dan sikap penulis yang berbeda tentang peristiwa yang dilaporkan. Berikut disajikan klausa yang memiliki berbagai prespektif.
(1) Polisi menembak mati enam demonstran.
(2) Enam demonstran ditembak mati.
(3) Enam demonstran tewas.
(4) “Enam demonstran ditembak mati.” Ujar saksi mata.
(5) Saksi mata melihat enam demosntran mati tertembak.
(6) Enam mahasiswa yang tewas itu diantaranya Elang Mulya, Lesmana, Hendriawan Sie dan Hafidin R.
c.       Struktur Nominalisasi
Nominalisasi adalah transformasi sintaksis secara radikal dalam suatu klausa yang memiliki konsekuensi struktural yang luas dan memberikan kesempatan menyampaikan ideologi. Dalam bahasa Indonesia predikat verba direalisasikan secara sintaksis menjadi nomina. Salah satunya dilakukan dengan memberi imbuhan “pe-an”. Kata memperkosa menjadi perkosaan, membunuh menjadi pembunuhan, menembak menjadi penembakan. Contoh berikut ini memiliki prespektif berbeda;
(7) Seorang ayah memperkosa anak gadisnya sendiri yang berusia 12 tahun.
(8) Perkosaan memimpa anak gadis yang baru berumur 12 tahun.
(9) Polisi menembak secara membabi-buta dalam insiden Semanggi.
(10) Penembakan secara membabi-buta terjadi dalam insiden Semanggi.


d.      Modalitas
Modalitas diartikan sebagai komentar atau sikap yang berasal dari teks, baik eksplisit atau implisit diberikan oleh penulis terhadap apa yang dilaporkan, yakni keadaan, peristiwa dan tindakan. Modalitas memiliki peluang besar untuk digunakan jurnalis dalam membangun prespektif pemberitaan yang mempengaruhi opini pembaca. Dengan modalitas, penulis dapat memasukkan pandangan pribadi atau institusinya ke dalam proposisi yang ditulisnya melalui pilihan modalitas. Modalitas sebagai komentar atau sikap penulis yang tertuang dalam teks dibagi menjadi empat yaitu (1) kebenaran, (2) keharusan, (3) izin, (4) keinginan. Contoh berikut modalitas yang menyiratkan prespektif pemberitaan.
(11) Tommy Soeharto harus ditangkap.
(12) Tommy Soeharto seharusnya ditangkap.
(13) Tommy Soeharto bisa ditangkap.
(14) Tommy Soeharto mungkin ditangkap.
(15) Tommy Soeharto tidak akan tertangkap.
(16) Tindakan penangkapan Tommy Soeharto dinilai sangat tepat.
            Pemakaain modalitas harus, seharusnya dan sangat tepat pada (11), (12) dan (16) menunjukkan dukungan tindakan yang tercermin dalam proposisi, sementara (13) dan (14) memperlihatkan sikap netral bila dibandingkan dengan (11), (12) dan (16).
e.       Tindak Tutur
Bentuk ekspresi bahasa yang dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan prespektif adalah elemen-elemen interpersonal seperti tindak tutur (speech acts). Pandangan yang melandasi tindak tutur, jika orang mengatakan sesuatu, orang akan melakukan sesuatu untuk tuturan itu. Hal itu merupakan aspek dalam fungsi interpersonal bahasa. Contoh berikut dapat menjelaskan tindak tutur yang dapat menimbulkan prespektif berbeda;
(17) Ada unjuk rasa.
(18) Kongres Umat Islam merekomendasikan presiden dan wapres mendatang harus pria, beriman dan bertaqwa (Jawa Pos, 7/11/8).
            Pada tuturan (17) dituturkan oleh seorang polisi, tidak sekedar menginformasikan sesuatu, tetapi juga berfungsi sebagai perintah ke lokasi untuk pengamanan. Hal itu berbeda maknanya jika dituturkan oleh mahasiswa di kampus, ujaran itu bukan informasi tetapi ajakan. Demikian pula dalam (18) , bagi mereka yang mengikuti pasca Pemilu 1999, maka dengan cepat dapat menangkap bahwa ilokusi yang tersirat yang menghambat Megawati Soekarno Putri maju menjadi presiden.
f.       Metafora
Menurut Aristoteles seperti yang dikutib Abdul Wahab, metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang menyatakan ungkapan kebahasaan yang menyatakan hal-hal yang bersifat umum untuk hal-hal yang bersifat khusus dan sebaliknya. Metafora digunakan sebagai ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak bisa dijangkau secara langsung dari lambang karena makna yang dimaksud terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan itu. Artinya metafora merupakan pemahaman pengalaman sejenis hal yang dimaksudkan untuk perihal lain. Metafora digunakan jurnalis untuk membangun prepektif dalam surat kabar. Berikut adalah contoh metafora yang dapat menimbulkan prespektif berbeda.
(19) Gelombang mahasiswa mendatangi gedung DPR Senayan mendesak agar anggota dewan ikut mengusut 4 mahasiswa yang ditembak di Univeristas Trisakti.
(20) Ibarat pemain sepak bola,saat ini penyelesaian hutang PT Garuda Indonesia sudah memasuki injury time, tinggal menunggu peluit panjang.
            Mataforik gelombang untuk menggambatkan laut yang bergulung-gulung dan menakutkan.Metaforik injury time menggambarkan sedikit waktu PT Garuda Indonesia untuk  melunasi hutang.
(21) Debitor nakal perlu dicekal
(22) Amin, Gus Dur,Hamzah dan Nur Mahmudi bertemu, mereka bahas “buah simalakama” Mega.
            Kata nakal dalam (21) memiliki adanya tiga kesamaan sifat nakal yaitu (1) masih kanak-kanak sehingga kurang mampu membedakan mana yang benar dan yang salah, (2) sudah tahu aturan yang sudah disepakati tetapi tetap saja melanggar, (3) sudah dinasihati tetapi tidak memperbaiki. Demikian dengan “buah simalakama”, jika Megawati terpilih menjadi presiden keadaan belum tentu bertambah baik.Sebaliknya jika Megawati tidak terpilih akan berpotensi buruk bagi partai berbasis massa Islam perempuan memang tidak diijinkan menjadi pemimpin.
            Kita perlu memahami praktik diskursif dari komunitas pemakai bahasa yang disebut sebagai order of discourse. Ketika menganalisis teks berita sebelum dimensi tersebut dianalisis perlu melihat dulu order of discourse, apakah bentuknya hardnews, features, artikel atau editorial. Hal ini akan membantu peneliti untuk memaknai teks,produksi teks, dan konteks sosial dari teks yang dihasilkan. Order of discourse secara sederhana seperti layaknya pakaian; pakaian di kantor berbeda dengan pakaian tidur dan pakaian renang. Pemakaian bahasa menyesuaikan dengan praktis diskursif di tempat mana ia berada, ia tidak bebas memakai bahasa.
g.      Struktur Informasi
Pengaturan struktur informasi atau organisasi isi proposisi dalam kalimat atas informasi latar dan informasi baru dapat dipergunakan menandai prespektif pemberitaan. Prespektif pemberitaan akan terlihat dari pemilihan bagian proposisi tertentu sebagai informasi baru dan bagian proposisi lain sebagai informasi latar. Berikut contoh fenomena pengaturan informasi.
(23) Sebelum bentrok seharusnya sempat dilakuakn negosiasi dengan tawaran 50 wakil PRD berdialog dengan KPU di ruang sidang dengan catatan yang lain menunggu di jalan.
(24) Sebelum terjadi bentrokan, aparat keamanan yang menjaga pintu masuk kantor KPU di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat sempat membiarkan pengunjuk rasa dengan atribut PRD lengkap di sekujur tubuh mereka membawakan orasi 50 menit.
            Kedua proposisi di atas menginformasikan tentang bentrokan antara PRD dengan aparat kepolisian di KPU. Perbedaan itu tampak dalam proposisi pengisi informasi latar baru. Jika disederhanakan struktur proposisi kedua data adalah sebagai berikut;
(23a) Bentrok PRD dan polisi—negosiasi PRD dan polisi, 50 perwakilan PRD bertemu wakil KPU—bentrok PRD dan polisi 28 luka-luka.
(24a) Bentrok PRD dan polisi—PRD dibiarkan polisi berorasi 50 menit—aparat keamanan membubarkan orasi PRD—bentrok polisi dengan PRD 28 luka-luka.
            Pada kedua data tersebut yang ditulis dengan huruf miring adalah data informasi baru dan yang ditulis dengan huruf tegak adalah informasi latar. Untuk mendukung analisi isi, berikut disajikan kalimat yang mendahului kedua kalimat tersebut.
(25) Pengamat kepolisian Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. menyataka insiden penembakan PRD oleh aparat keamanan justru bertepatan dengan peringatan hari Bhayangkara makin memperburuk momentum tersebut.
(26) Demontrasi fanatic sekitar 500 massa Partai Rakyat Demokratik (PRD) di depan Gedung KPU, kemarin berubah berdarah.
            Dari struktur proposisi pada data (23) dan konteks data sebelumnya (25) terlihat bahwa proposisi Demo PRD merupakan informasi latar. Kedua informasi itu dapat ditemukan rujukannya  dalam data (25) yakni penembakan massa PRD pada hari Bhayangkara makin memperburuk citra polisi. Sementara itu, proposisi demonstrasi fanatik sekira 500 massa PRD berubah berdarah. Proposisi pengisi informasi latar baru dapat dilihat dalam tabel berikut;
Data
Informasi Latar
Informasi Baru
23
Bentrok di KPU antara PRD dan Polisi
Negosiasi 50 perwakilan PRD berdialog dengan KPU
24
Bentrok di KPU antara PRD dan Polisi
Polisi membiarkan PRD berorasi 50 menit
            Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa proposisi yang mengisi informasi latar sama yaitu Bentrok di KPU antara PRD dan Polisi, namun informasi baru yang dimunculkan oleh wartawan berbeda yaitu Negosiasi 50 perwakilan PRD berdialog dengan KPU (Suara Pembaruan) dan Polisi membiarkan PRD berorasi 50 menit (Media Indonesia).
            Berdasarkan struktur dan konteks kedua data serta pra-anggapan masing-masing pengisi informasi latar dan informasi baru disimpulkan bahwa surat kabar Suara Pembaruan pro masyarakat. Seharusnya polisi tidak perlu bentrok dengan PRD, apalagi dengan menembak, menendang, memukul dan menginjak-injak.

B.     Hermeneutika
            Akar permulaan hermenēuein dan hermēnia bisa ditemukan dalam Organon, Peri hermēneias karya Aristoteles, yang diterjemahkan dengan “On Interpretation.” Kata ini juga ditemukan dalam Oedipus at Colunus karya Plato, juga beberapa karya lainnya dari penulis awal yang terkenal seperti  Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius dan Longinus.
            Dalam Organon, Peri hermēneias dipaparkan kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari sebuah pengalaman mental dan kata-kata yang ditulis adalah simbol dari kata-kata yang diucapkan. Tulisan ini dipercaya menjadi titik tolak bagi dimulainya pembahasan hermeneutika di era klasik.
            Ada dua dimensi besar dalam hermeneutik yaitu hermeneutika intensionalisme dan hermeneutika gadamerian. Intenasionalisme diawali sejak hermeneutika romantis dengan tokohnya Schleiermacher. Pokok pikiran hermeneutika intensional ini adalah bahwa makna adalah maksud atau instensi prosedurnya. Dengan kata lain, makna kata sesungguhnya telah ada di balik kata itu sendiri. Makna telah menanti dan tinggal ditemukan oleh penafsirnya dan itu adalah tugas pembaca untuk mencarinya.
            Menurut hermeneutika intensionalisme, makna adalah niat atau kemauan yang diwujudkan dalam suatu tindak atau produknya seperti teks misalnya sehingga makna  sudah ada dan hanya akan keluar jika diinterpretasikan. Pengertian ini didasarkan pada arti “makna” (meinen) yang menunjukkan arti bahwa makna suatu teks, tindak, hubungan dan seterusnya adalah sesuatu yang ada dalam pikiran produsen yang kemudian dikeluarkan melalui suatu tindak seperti memproduk teks. Dengan kata lain makna telah ada dan menanti untuk dipahami. Makna hanya berasal dari aktifitas produsen teks, bukan dari aktivitas orang lain, termasuk aktivitas interpretasi penafsir. Dengan kata lain, pembaca atau penafsir harus memahami teks yang ia baca dan pembaca atau penafsir dapat menangkap konsepsi pengarang mengenai fakta situasinya, keyakinan dan keinginannya, namun dengan catatan penafsir harus menemukan alasan pelaku bersikap seperti yang diperlihatkan.
            Sedangkan hermeneutika gadamerian dengan tokohnya Hans-Georg Gadamer memberikan definisi berbeda tentang makna. Makna dalam hermeneutika gadamerian bukan terletak pada instensi prosedurnya, melainkan pembacanya itu sendiri. Makna itu belum ada ketika sebuah kata diucapkan atau ditulis dan segera muncul ketika kata itu didengarkan atau dibaca.
            Konsep ini menemukan titik kulminasinya pada Gadamer yang menyatakan bahwa sekali teks hadir di ruang publik, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri. Hermeneutika tidak lagi bertugas menyingkap makna objektif yang dikehendaki pengarangnya, tetapi adalah untuk memproduksi makna yang seluruhnya memusat pada kondisi historitas dan sosialitas pembaca. Gagasan ini dengan sendirinya menyangkal origin. Dengan kata lain ia menolak suatu realitas di balik fenomena, realitas sumber, realitas terakhir. Dengan demikian, untuk memperoleh makna sebuah kata, kalimat atau teks diperlukan lagi maksud original-nya.
            Hermeneutika secara etimologis berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermenēuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda hermēnia diterjemahkan penafsiran atau interpretasi. Kedua kata ini diasosiasikan pada Dewa Hermes seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa.
            Dalam mediasi dan proses penyampaian pesan yang ditugaskan pada Hermes dari kata kerja hermenēuein ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya yaitu to  express (mengungkapkan), to assert (menjelaskan) dan to say (menyatakan). Oleh karenanya interpretasi mengacu ketiga persoalan berbeda yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal dan penerjemahan dari bahasa lain.
            Berhasil atau tidaknya misi tergantung cara bagaimana pesan itu disampaikan. Indikasi keberhasilan manusia yang awalnya tidak tahu menjadi mengetahui makna pesan yang disampaikan. Tugas menyampaikan pesan ini juga berarti haraus mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Dari sini kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.
            Kehadiran hermeneutika dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam analisis Werner ada tiga sebab yang paling mendominasi pengaruh terhadap pembentukan hermeneutika dari masa interpretasi bible sangat ini. Ketiga yang dimaksud Werner tersebut yaitu (1) masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani; (2) masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan teks kitab suci agama mereka; (3) masyarakat Eropa zaman pencerahan yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.

C.    Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita disebut juga bahasa komunikasi massa (Language of Mass Communication, disebut pula Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak), dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.
Marshall McLuhan sebagai penggagas teori “Medium is the message” menyatakan bahwa setiap media mempunyai tatabahasanya sendiri yakni seperangkat peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya dengan penggunaan media. Setiap tata bahasa media memiliki kecenderungan (bias) pada alat indra tertentu. Oleh karenanya media mempunyai pengaruh yang berbeda pada perilaku manusia yang menggunakannya (Rakhmat, 1996: 248).
Secara lebih seksama bahasa jurnalistik dapat dibedakan pula berdasarkan bentuknya menurut media menjadi bahasa jurnalistik media cetak, bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik media online internet. Bahasa jurnalistik media cetak, misalnya, kecuali harus mematuhi kaidah umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri yang sangat khusus yang membedakannya dari bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik TV, dan bahasa jurnalistik media online internet.
Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala tersebut. yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata. (diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika (Sumadiria, 2005:53-61). Berikut perincian penjelasannya.
1. Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau. kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.
2. Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekuensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.
3. Padat
Menurut. Patmono, SK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap  kalimat dan paragraf yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kalimat yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
4. Lugas
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
5.  Jelas
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam adalah warna yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan, maka terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada kedua warna itu  sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu. Perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan  kaidah subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.
6.Jernih
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan, kita hanya dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium dengan air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila dimasukkan  ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh. Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan  kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan publik. Dalam bahasa kiai, jernih berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola pikir positif (positive thinking) dan menolak pola pikir negatif (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang. Pers atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat.  Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik.
7. Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku. Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada memunculkan semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut seniman.
Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan  kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.
8. Demokratis
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan  aspek fungsional dan komunal, sehingga sama sekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagaimana  dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan kraton. Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan pengemis dan pemulung secara sama. Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan pengemis  keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar,  karikatur, atau teks foto. Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama  di depan hukum sehingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat  persatuan dan kesatuan bangsa, karena bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis sebagai contoh presiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.

9.  Populis
Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran  khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat dharma wanita. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
10.  Logis
Logis berarti apa  pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraf jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar di sini berlaku hukum logis. Sebagai contoh, apakah logis kalau dalam berita dikatakan: jumlah korban tewas dalam musibah longsor dan banjir bandang itu 225 orang namun sampai berita ini diturunkan belum juga melapor. Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana mungkin korban yang sudah tewas, bisa melapor?
Menurut salah seorang wartawan senior Kompas dalam bukunya yang mengupas masalah kalimat jumalistik, dengan berbekal kemampuan menggunakan logika (silogisme), seorang wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan, fakta, persoalan, ataupun pernyataan seorang sumber berita. Ia akan lebih kritis, tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang mengemukakan peryataan atau keterangan dengan motif-motif tertentu (Dewabrata, 2004:76).
11. Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik non baku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.
12. Menghindari kata tutur
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh pihak yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang, bilangin, bikin, dikasih tahu,  mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.
13.   Menghindari kata dan istilah asing
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak  diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan. Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonim dan heterogen tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.


14.  Pilihan kata (diksi) yang tepat
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektivitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak. Pilihan kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat fatal. Seperti ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata itu. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan,  tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).
15.  Mengutamakan kalimat aktif
Kalimat aktif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Sebagai contoh presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presiden.Contoh lain, pencuri mengambil  perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear and strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.


16.  Menghindari kata atau istilah teknis
Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen kecuali tidak efelitf, juga mengandung unsur pemerkosaan.
Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah dipahami maksudnya, maka istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda kurung. Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu : (1) kurang melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas, (2) tidak memiliki editor bahasa, (3) tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.
17.  Tunduk kepada kaidah etika
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan saja harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya, melainkan juga harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika bahasa tidak saja mencerminkan pikiran tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu dalam menjalankan fungsinya mendidik khalayak, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku. Bahasa pers harus baku, benar, dan baik. Dalam etika berbahasa, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, vulgar, sumpah serapah, hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama. Pers juga tidak boleh menggunakan kata-kata porno dan berselera rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca. Pers berkualitas senantiasa menjaga reputasi dan wibawa martabatnya di mata masyarakat, antara lain dengan senantiasa menghindari penggunaan kata-kata atau istilah yang dapat diasumsikan tidak sopan, vulgar, atau mengumbar selera rendah. Kata-kata vulgar, kata-kata yang menjurus pornografi, biasanya lebih banyak ditemukan pada pers popular lapis bawah dan pers kuning (Sumadiria,2005: 53-61).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar