Kamis, 11 Desember 2014

SAJAK DALAM MAYA


 Karya : Melgin
16 Juni 2014

Pembuka Fajar

Fajar menyinsing gelapnya, merubah terangnya emas juwita yang menyepuh puncak pergunungan desa tercinta. Mengubah hari menjadi cerah indah dan burung berkicauan ria. Ku masuki sebuah hutan tropis tepat di sebelah utara rumahku, perlahan mulai ku nikmati pembendaharan alam ini, menapaki jalan kurcaci kemudian didampingi oleh
pepohonan kayu putih yang berjejer sempurna. Bergegas ku memetik daunnya dan menghirup tersenyum mewangi. Lalu ku lihat tanah gambut nan berawa dihiasi oleh semak-semak tropis, kantong semar, aneka anggrek, belaran, dan rumput-rumput yang unik tepat setinggi dadaku, belum lagi ku lewati danau kecil nan indah alami, sebut saja genangan air yang diguguri oleh dedaunanan pohon kayu putih. Lengkaplah sudah surga alam ini yang membuat lupa akan kepulanganku. Adalah surga ini tempat persinggahanku, sering ku bercerita cita mengadu gadis yang sangat ku cintai kepada alam semesta, meluangkan waktu berkhayal banyak dan menulis sajak tentangnya.


Adalah gadis sederajat yang ku lukiskan dengan wajah elok sederhana, berambut hitam nan lurus panjang, dan berkulit halus kuning langsat. Sungguh hawa yang kaum adam idamkan. Bersyukurnya aku, dia telah menjadi tulang rusuk kiriku. Pendeskripsian mengaguminya seakan tiada habisnya apalagi bicara soal cinta. Sesungguhnya hutan inilah yang menjadi saksi bisu betapa aku mencintainya. Agar saksi itu bisa bicara, segera ku tuliskan cerita tentang aku dan dia, agar ada yang membaca pada saat aku tak ingin bercerita.

***

Logika 


Dulu pada saat pendidikan SD dia adalah seorang siswa ibuku, karena ibuku seorang guru, dan sekarang dia sudah menjadi mantu, karena aku telah melamarnya. Sedari dulu memang aku menyayangi dan mencintainya sejak belia ku jaga sampai menutup mata. Pula ku persembahkan kisah tentang aku dan dia lewat narasi ini. Setelah kami berpisah sejak kelas 5 SD tepatnya SDN 3 Parit Baru, Selakau. Perpisahan itu terjadi karena mengikut ibuku pindah bertugas mengajar ke Kota Singkawang yang membuat kami juga turut berpindah rumah. Sejak itu pula aku tak bisa melihat wajahnya, tak tau kabarnya. Cinta ku ikhlaskan begitu saja, aku hanya fokus pada pendidikanku, sampai nyaris terlupa, karena aku tak ingin ibuku kecewa.

7 tahun sudah, ku bersekolah di Kota Singkawang, setelah tamat SMA aku baru memiliki Hp dan baru dibolehkan mengendarai sepeda motor, semasa itu kesempatanku mencari-cari cintaku yang telah lama beku, ingin bertemu betapa dendam merindu. Jelas sudah banyak perubahan fisik, maklumlah 8 tahun kami tak mendengar suara apalagi bersua. Namun rasaku kepadanya takkan pernah berubah, selama 8 tahun itu aku terus membayangkan raut wajahnya agar aku tidak melupakannya, aku sangat takut akan hal itu. Ketakutan abstrak itu nyaris terjadi, konkritnya, dia telah memiliki pasangan menjalin hubungan selama 4 tahun, aku juga begitu, hanya bertahan 3 tahun. Mengapa kami dipertemukan pada saat masing-masing sudah memiliki? Sejenak terlintas tanya hati. Kemudian menjawab hati nurani, Allah menguji semua ini apalagi kepada insan yang tengah marak-maraknya mencari jati diri.


***


Realita


Ironisnya, aku belum pernah bertemu pasangannya, begitu juga dia yang belum pernah melihat pasanganku. Lagipula  sekarang nama pasangan itu sudah menjadi mantan. Sekilas tentang aku memutuskan hubunganku bukan karena dia, melainkan aku diperlakukan seperti narapidana. Dan sepengetahuanku dia diputuskan karena dia telah lama merantau, kemudian mantannya di kampung halaman memutuskan untuk menikah dengan gadis lain. Sungguh kisah yang balada.

Sudah, kami berdua tak memiliki pasangan. Lagipula, meskipun aku sudah memiliki Hp, sudah memiliki kendaraan roda dua, tetap saja aku tak bisa bertemu dengannya, karena aku akan melanjutkan perguruan tinggi, sedang dia sudah lama merantau di negeri rumpun melayu seberang, tepatnya di Petaling Jaya, Selangor, Malaysia.

Lagi-lagi kerinduanku yang semakin dalam tak pernah padam, hanya berkisar 3 jari aku bertemunya, yaitu pada saat lebaran, dia pamit pergi merantau, dan pada saat dia pulang cuti. Tapi, kini dia pergi lagi. Meski sejak itu aku pernah melarangnya merantau karena aku sangat takut, lebih takut yang kurasakan lewat tontonan kasus-kasus kekerasan TKI di media massa. Tapi apa daya, karena dia tetap saja nekat pergi demi menghidupi kedua orangtuanya.


Aku sangat bangga kepadanya, dia gadis yang sederhana, mandiri, dan sangat menyayangi orangtuanya, hingga rela pergi merantau untuk menafkahi orangtuanya. Sungguh sulit ku temukan gadis belia seperti dia. Sementara aku masih menguras uang orangtua soal administrasi untuk melanjutkan perguruan tinggi.

Kami memang terpisah lautan, hanya mengirim pesan pada saat risau kerinduan, itu pun pulsaku mencukupi mengirim pesan 1 halaman. Kadang isi pembahasan pesan itu, aku minder soal material, dan dia minder soal pendidikan. Suatu hal yang wajar jika beda persepsi, karena kami beda profesi.

Pada suatu malam yang penuh keributan suara jangkrik dan katak-katak yang bersahutan di luar rumahku, suasana itu menandakan hujan deras seharian yang sudah reda. Di sebuah bilik aku terbaring merindunya, aku sangat merasa ingin bertemu dengannya, jarak ini seakan tidak boleh dipertemukan oleh keadaan. Saat itu kucurahkan segalanya lepas, semuanya tuntas yang selama bertahun-tgahun kupendam, kuredam. Akhirnya dewasa ini aku sungguh pemilik hatinya, dia akan manjadi kekasihku untuk selamanya. Meski tembok lautan menjulang tinggi menyambung awan, tetaplah saling setia penuh keyakinan.


Di saat waktu luang, melepas lelah dari beban pikiran akan tugas-tugas kuliahku yang menumpuk ruang, keluh kesah sudah tiada hentinya. Kadang aku ingin seperti dia, bekerja dan tak ingin kuliah, kemudian ku beranalogi dilema akan kuliah dan kerja.
            Ternyata lelah juga ya berfikir daripada kerja
            Malah buat stres butuh refres
            Seiap waktu seperti candu
            Eksperimen otak-tenaga membuktikan
            Malah pikir jadi beban
            Lagipula tuga menumpuk
            Larut malam tak hirau kantuk
            Baiknya kerja, sedikit bisa “hura-hura”
            Tak apalah, yang penting hasil jerih payah sendiri
            Bukan orangtua maupun tiri
            Tapi, sampai kapan membanting tulang?
            Seperti tak berpeluang
            Kembali ke cerita masa depan tuntutan zaman
            Lagi-lagi dilema, dilema, dan dilema
            Sungguh aku ingin keduanya
            Tapi, kuliah-kerja susah bagi waktu
            Hadap kuliah saja sudah jemu
            Pesimis-optimis? Buat bingung saja


Di saat itu pula kerinduanku meluap, ku putuskan, ku lepaskan semua kerinduan itu dengan beranjak pergi mengunjungi rumah orangtuanya. Aku bersua dengannya, kami bercanda tawa, dan makan malam bersama di atas lantai duduk bersila, dilapisi dengan anyaman tikar, aku makan sangat lahap, karena orang Melayu akan sangat senang jika tamu yang datang diajak makan itu makannya lahap, apalagi sampai menambah porsinya. Sekalipun aku merasakan keharmonisan di keluarg a itu, belumlah lengkap tanpa kepulangannya. Sejenak ku memikirkannya sembari melihat kondisi orangtuanya.
Kan slalu ku jaga hati
Demi cinta tak terpatahkan
Meski jauh mata memandang
            Takkan pernah kelain hati
            Kau dan aku percayakan
            Meski tak sampai mata memandang
Bila saatnya kau kembali
Tibalah yang ku nanti-nantikan
Dan meraih semua impian
            Kini ku hanya bisa bermimpi
            Temani malam setiap kerinduan
            Ku yakin cinta kita di keabadian
Pesanku hati menjaga diri
Wajar sayang kekhawatiran
Ku persembahkan sajak untukmu di negeri seberang

Jelas kami menjalin hubungan jarak jauh, untungnya selama itu kami tidak menghadapi masalah-masalah hati, hanya kerisauan akan kesehatan dan menjaga diri. Hikmahnya, kami jauh dari perbuatan maksiat, karena fenomena generasi muda sekarang ini mayoritas mengamalkan slogan “habis kawin terbitlah pernikahan”. Namun, sesungguhnya kejujuran itu terletak di perut-perut perempuan, budaya itu sudah dianggap lumrah bagi orang timur karena pengaruh terkontraminasi oleh budaya barat lewat situs dunia maya.

Sekian lama ku menunggu kepulangannya, wajar cobaan itu pasti adanya, hadir di sela-sela waktu saat kami tak bisa memberi kabar tentang aku dan dia. Hal yang pasti terjadi adanya konflik batin antara pikiran dan hati nurani, tapi frekuensinya tidak begitu lama, karena aku yang selalu menuturkan permintaan maaf  jika aku salah, dan dia pula tidak keras hati dan kepala, tidaklah pula berkepanjangan, reda dan hilang begitu saja ketika semua itu akhirnya dibawa diam redam. Kemudian ku kirimkan sajak untuknya.
"Jika aku tidak mengerti, harap awak memberi arti
Jika awak minta mengerti, ku lakukan sepenuh hati
Meski di saat kita jauh, satu di antara kita yang rapuh
Tidaklah punah kesetiaanku kepadamu"

***



Maya

Kita
Memang terhampar di dua waktu
Terbentang pisahkan aku & kamu
Jauh
Tahukah arah bila ku tuju?
Hanya bisa mencari, bermimpi semu
Dan bila?
Saatnya bertemu, kita bersatu?
Akan ku juga sampai di negeri baru?
Asal sudah ku tuju hatimu
Pulalah sampai cintaku
Apalagi cinta setia
Jadikan bekal masa selamanya
     
Singkat, di usia seperempat abad aku melamarnya, semenjak hati selalu dekat bersamanya, selalu memilikinya, semenjak itu pula kehidupanku terarah.

Di hari memeriahkan pernikahan kami seakan reunian teman-teman sewaktu sekolah dasar. Mereka ada yang sudah dikaruniai momongan yang sangat menggemaskan. Melihatnya, kami tak sabar pula menginginkan buah hati yang melengkapi keluarga yang harmonis ini. Selamat pengantin baru tutur lagu yang merdu, tiada terasa kami bersanding di kursi istana meski desain yang sederhana dengan warna-warni khas Melayu, pula bersilatuhrahim kepada tamu-tamu yang berkunjung seru. Sekian tebar senyum keceriaan mereka yang menutup acara ini meluap kebahagiaan. Semua kami kenang, semua kami abadikan sebagai semangat hidup bekal masa depan, karena pernikahan awal hidup yang baru. Mungkin, reinkarnasi tepat sasarannya kepada pernikahan.

***



Penutup Senja
     
Sekian kalinya aku berkunjung angan di hutan kayu putih ini. Waktu  pun telah senja, ayat suci Al-Qur’an sudah diperdengarkan di masjid-masjid, pertanda berkisar 15 menit lagi azan akn berkumandang. Bergegas pula aku hendak pulang, ku sudahi deskripsi khayalanku tentang dia di negeri seberang, karena di dunia, khayalan bukanlah membawa kebahagiaan yang sesungguhnya, melainkan doa dan usaha itu yang mendatangkan kebahagiaan dunia akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar